TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyatakan bahwa daftar barang mewah yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12 persen akan ditentukan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani.
Sekretaris Kemenko Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah memberikan tugas tersebut kepada Sri Mulyani.
“Pak Presiden menyampaikan teknisnya nanti Menteri Keuangan yang akan mengatur,” kata Susiwijono ketika ditanya tentang hal itu di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, pada Jumat, 6 Desember 2024.
Penentuan komoditas mewah yang akan dikenakan PPN 12 persen berada di bawah kewenangan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. Susiwijono Moegiarso menjelaskan bahwa pengecualian pajak untuk beberapa komoditas telah diatur dalam PP Nomor 49 Tahun 2022, yang mengatur PPN dibebaskan atau tidak dipungut untuk barang dan jasa tertentu. Presiden Prabowo menugaskan Menteri Keuangan untuk merumuskan daftar pengecualian lebih lanjut.
Hingga kini, Kementerian Keuangan belum memastikan kapan daftar barang mewah tersebut akan diumumkan. Pejabat terkait, termasuk Kepala BKF Febrio Kacaribu, belum memberikan tanggapan mengenai hal ini.
Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menilai keputusan pemerintah untuk memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen secara selektif untuk barang mewah hanya akan mempersulit pelaksanaannya di lapangan.
"Iklim perpajakan kita jadi semakin rumit," katanya ketika dihubungi Tempo pada Jumat, 6 Desember 2024.
Yang lebih mengkhawatirkan, kata Wijayanto, dengan kebijakan tarif PPN yang berbeda-beda, pemberlakuan hingga pengawasan penerapan pajak baru itu di lapangan juga akan semakin sulit. Bahkan, tak tertutup kemungkinan, akan terjadi banyak kasus manipulasi pajak.
Menurut Wijayanto, kebijakan tersebut berpotensi mendorong masyarakat memanfaatkan kategori tarif PPN yang lebih rendah. "Dua tarif yang berbeda akan mendorong orang untuk melakukan manipulasi (pajak)," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa banyaknya variasi barang yang beredar di pasar saat ini menjadi tantangan bagi pemerintah. Pemerintah perlu mendefinisikan dan mengkategorikan barang-barang yang dianggap mewah untuk dikenakan PPN sebesar 12 persen.
"Terlalu banyak variasi (barang), perlu didefinisikan mana barang mewah, mana bukan," ujar Wijayanto.
Presiden Prabowo menegaskan bahwa kenaikan pajak akan diterapkan secara selektif, hanya untuk barang mewah, guna melindungi rakyat kecil. Ia menyebut pemerintah telah mengambil langkah untuk tidak memungut pajak tertentu sejak akhir 2023 demi meringankan beban masyarakat.
Aturan pengecualian barang sebelumnya diatur dalam Pasal 4a UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM. Dengan kebijakan baru, lebih banyak barang akan dikecualikan dari objek PPN.
Hanya tersisa waktu kurang satu bulan sebelum penerapan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Rencana penerapan PPN 12 persen menuai banyak penolakan, namun belum ada kepastian kebijakan itu bakal tetap dijalankan atau dibatalkan.
Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan kemungkinan penundaan implementasi kenaikan pajak masih akan dibicarakan. “Nanti akan dibahas,” ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 2 Desember 2024.
Sebelumnya Airlangga sempat menyatakan bahwa pemerintah hanya mengikuti keputusan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat soal kenaikan PPN. Hal itu disampaikannya dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Kadin di Hotel Mulia, Jakarta, Ahad, 1 Desember 2024.
“Jangan tanya pemerintah (soal kenaikan PPN), tanya Komisi XI, karena yang memutuskan Komisi XI. Kalau pemerintah, ikut keputusan Komisi XI,” ujar Airlangga.
Sementara itu, Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, mengatakan keputusan kenaikan tarif pajak berada di tangan pemerintah. “Kita serahkan sepenuhnya itu menjadi wilayah pemerintah,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pemerintah bisa menaikkan PPN bertahap satu persen. Kenaikan pajak ini sempat terjadi pada April 2022 menjadi 11 persen dan akan naik lagi jadi PPN 12 persen pada 2025. Pajak pertambahan nilai dibebankan kepada konsumen sehingga penerapannya akan menyebabkan sejumlah harga barang dan jasa ikut naik.
Misbakhun membenarkan kondisi saat ini berbeda dengan kenaikan pajak yang terjadi pada April 2022. Saat ini daya beli sedang menurun sehingga pemerintah perlu memutuskan meski Undang-Undang itu sudah disepakati. "Tinggal pemerintah, apakah kemudian men-consider, kondisi daya beli yang menurun penurunan kelas menengah yang hampir 10 juta,” ujarnya.
Ilona Estherina, Vendro Immanuel G dan Nabiila Azzahra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Prabowo Tetapkan PPN 12 Persen untuk Barang Mewah, Produk Apa Saja yang Dimaksud?