PTUN Kabulkan Gugatan Nelayan Balikpapan, Kemenhub: Kami ikuti, Kalau Kalah Ya Kalah

1 day ago 17

TEMPO.CO, Jakarta -Kementerian Perhubungan buka suara ihwal putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas gugatan nelayan perairan Balikpapan—tergabung Kelompok Kerja Pesisir—terhadap Keputusan Menteri Perhubungan Nomor Km 54 Tahun 2023 atau KM 54/2023. PTUN mengabulkan gugatan tersebut pada 14 Maret lalu.

Direktur Jenderal Perhubungan Laut Antoni Arif Priadi menyatakan Kementerian Perhubungan mengikuti putusan tersebut. “Kami mengikuti. Kalau kalah, ya kalah,” kata Antoni ketika ditemui Tempo di Kemenhub pada Jumat, 21 Maret 2025.

KM 54/2023 merupakan peraturan tentang Penetapan Lokasi Wilayah Tertentu di Perairan Luar Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan yang berfungsi sebagai Pelabuhan di Perairan Balikpapan Provinsi Kalimantan Timur. Keputusan tersebut menetapkan lokasi pelabuhan di perairan Teluk Balikpapan untuk mendukung pembangunan pelabuhan alih-muat antar kapal (Ship To Ship-STS).

Gugatan Pokja Pesisir terhadap KM54/2023 didaftarkan sejak 10 Oktober 2024 dan teregister dengan nomor perkara 367/G/2024/PTUN.JKT. Terhadap gugatan itu, PTUN dalam putusannya mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya. “Menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor KM 54 Tentang Penetapan Lokasi Wilayah Tertentu Di Perairan Di Luar Daerah Lingkungan Kerja Dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan Yang Berfungsi Sebagai Pelabuhan Di Perairan Balikpapan Provinsi Kalimantan Timur Tertanggal 08 Juni 2023,” demikian bunyi putusan perkara sebagaimana dikutip Tempo dari laman resmi sipp.ptun-jakarta.go.id.

Dalam putusannya, PTUN juga memerintahkan tergugat untuk Mencabut Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 54 Tahun 2023. PTUN juga menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini.

Direktur Eksekutif Pokja Pesisir Mapaselle bersyukur atas putusan PTUN Jakarta tersebut. Putusan tersebut menurutnya, menjadi kemenangan masyarakat nelayan, khususnya nelayan di teluk maupun nelayan pesisir Balikpapan dan Penajam Paser Utara yang selama ini berjuang memperoleh keadilan ruang di laut. “Dikabulkannya gugatan Pokja Pesisir di PTUN Jakarta tersebut sebagai langkah awal untuk memperoleh keadilan ruang yang menjadi syarat utama agar nelayan bisa sejahtera,” kata Mapaselle melalui keterangan resminya.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Timur Fathur Roziqin Fen turut mengapresiasi putusan PTUN Jakarta. Menurut dia, putusan PTUN juga membuka tabir darii fakta-fakta persidangan bahwa Kementerian Perhubungan era Presiden Jokowi terindikasi mengangkani sejumlah regulasi.

Karena itu, ia mengatakan kasus ini harus menjadi peringatan. Alasannya, kebijakan pemerintah di sektor pesisir dan laut kerap berisiko terhadap keanekaragaman hayati laut serta perlindungan ruang tangkap nelayan tradisional. “Dengan dimenangkan gugatan nelayan ini, diharapkan kedepannya aktivitas bongkar muat di zona tangkapan nelayan tidak akan ada sehingga laut kita kembali bersih dan lestari,” kata dia.

Kisah Nelayan Balikpapan

Lokasi yang akan digunakan sebagai tempat alih muat batu bara dari tongkang ke kapal induk di tengah laut berada perairan Balikpapan, sekitar 8 mil dari muara sungai Manggar. Padahal berdasarkan Perda RZWP3K (Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau Pulau Kecil) Kalimantan Timur Nomor 2 tahun 2021, yang kemudian diintegrasikan ke dalam Perda RTRW Kalimantan nomor 1 tahun 2023, kawasan tersebut merupakan zona perikanan tangkap.

Tempo pernah melaporkan dampak KM 54/2023 dan keberadaaan aktivitas STS di perairan Balikpapan terhadap nelayan. Laoran yang tayang di Tempo Interaktif pada Jumat, 8 November 2025,  mengisahkan Jumadi—nelayan dari Kelurahan Manggar Baru, Balikpapan Timur—yang pendapatannya menyusut akibat adanya aktivitas STS. Sebelum ada STS, Jumadi bisa membawa pulang hasil laut hingga 25 kilogram. Namun setelah itu, ia justru lebih sering khawatir hasil tangkapannya tidak bisa menutup biaya operasional.

Jumadi mengatakan hal ini terjadi karena wilayah tangkap nelayan menyempit. Aktivitas STS batu bara membuat mereka tidak bisa melaut lebih jauh. Kegiatan tersebut membuat kapal nelayan bersaing dengan kapal-kapal besar pengangkut material. "Tongkang-tongkang yang berhamburan itu mengganggu," tutur Jumadi.

Mendekat ke kapal-kapal pengangkut batu bara di area STS—yang biasa disebut "lampu merah" oleh para nelayan—terlalu riskan. Bila nekat, mereka bisa terdampak limbah kapal, mulai dari tumpahan batu bara, ban bekas, hingga lumpur bekas jangkar. Ketika jaring terkena jangkar kapal pengangkut, perlu waktu hingga empat jam untuk menarik ke atas. Itu pun tanpa jaminan jaring itu tidak rusak. Jumadi pernah mengalaminya sendiri.

Hal serupa dirasakan Gufron, nelayan asal Kolaka, Sulawesi Tenggara, yang juga tinggal di Kelurahan Manggar Baru. Dulu, sebelum wilayah jelajahnya terganggu tongkang-tongkang batu bara, Gufron bisa melaut lebih jauh, dan mejelajah laut lepas lebih bebas. Ia bahkan sering membawa pulang ikan kerapu hingga 10 kilogram. Sementara kini, hasil tangkapannya didominasi udang. "Sekarang, jarang dapat ikan kerapu," ujar Gufron. Padahal, ikan kerapu yang terbilang lumayan untuk mengerek pendapatan karena harga jualnya bisa mencapai Rp 60 ribu per kilogram.

Namun, Gufron memang tidak punya banyak pilihan. Ia enggan menjaring ikan di lampu merah karena bila jaringnya tersangkut limbah kapal pengangkut material, ia justru bakal kerepotan. "Dulu nggak ada batu bara, kami cari di situ. Sekarang banyak batu sama sangkutannya," ujar Gufron.

Area tangkapan yang menyempit membuat pendapatan Gufron ikut menyusut. Gufron hanya bisa mengenang masa-masa bisa mengantongi Rp 600 ribu hingga Rp 700 ribu dari setiap satu ember beragam hasil laut yang ia bawa pulang.

Sementara kini, misalnya yang terjadi pada Senin, 26 Agustus 2024, sekali melaut pendapatannya tak sampai Rp 500 ribu, belum lagi untuk biaya solar. Hari itu, setelah dua jam melaut, Gufron membawa pulang udang, lima ekot kepiting, beberapa cumi dan ikan. Namun, hanya udang yang ia jual, sedangkan sisanya ia gunakan sebagai lauk makan keluarga.

Pilihan editor: Profil PT Pupuk Indonesia yang Bakal Bangun Pabrik di Papua Barat

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |