TEMPO.CO, Jakarta - Banjir yang melanda Puncak, Kabupaten Bogor, pada Minggu, 2 Maret 2025, menyita perhatian publik. Bencana ini menyebabkan banyak rumah rusak dan warga kehilangan harta benda. Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sebanyak 346 orang terpaksa mengungsi akibat banjir tersebut.
Merespons kejadian ini, Kepala Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB University Baba Barus mengatakan secara normatif ada yang tidak tepat dalam penataan ruang di Puncak. “Perencanaan alokasi ruang yang tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan berpotensi menimbulkan kebencanaan,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Jumat, 6 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menambahkan, perencanaan yang baik pun tidak akan efektif jika pemanfaatan ruang tidak mengindahkan karakter daya dukung lingkungan. Hal ini dapat memicu dampak negatif seperti banjir dan longsor sebagaimana yang terjadi akhir pekan lalu.
“Kemunculan banjir di daerah Puncak sudah berulang, diduga karena banyaknya daerah resapan yang terganggu, sehingga aliran permukaan air menjadi sangat tinggi,” kata dosen Fakultas Pertanian IPB University ini.
“Secara alami, Puncak bukan daerah rawan banjir karena daerah berlereng. Kejadian banjir mungkin terjadi di daerah yang berdrainase buruk, cekungan terbatas, atau terkena banjir bandang di pinggir atau belokan sungai, atau di daerah yang terjadi perubahan kemiringan tajam,” ujar Baba.
Ia juga menyoroti kejadian longsor. Menurutnya, hal itu wajar karena di daerah Puncak banyak lokasi yang berpotensi longsor, khususnya di daerah sempadan sungai atau daerah berlereng terjal lainnya.
Baba menambahkan bahwa Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, secara faktual dimanfaatkan untuk hutan, kebun teh, dan permukiman, baik sudah disusun dalam perencanaan ruang maupun tidak.
Namun, kata dia, sebagian pemanfaatannya kemudian berubah sejalan dengan perubahan perencanaan ruang atau tidak sejalan. “Idealnya, pemanfaatan ruang harus sesuai dengan perencanaan,” katanya.
Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan pemanfaatan ruang. Secara aturan, sebenarnya sudah ada pengalokasian permukiman, tetapi dalam praktiknya terjadi penyimpangan. Banyak terjadi perubahan pemanfaatan dalam kurun waktu tertentu hingga saat ini.
“Lokasi yang tidak sesuai peruntukan atau kemungkinan tidak sesuai daya dukung untuk permukiman seharusnya tidak diizinkan jadi permukiman. Penggunaan citra satelit atau drone sangat mudah untuk memantau penyimpangan ini,” ucap dia.
Baba menekankan pentingnya perencanaan tata ruang yang detail dan didukung data akurat sehingga akan ada konsekuensi jika terjadi pengaturan kembali ruang. Karena itu ia menandaskan perlunya pendekatan secara bertahap dan spesifik.
Terkait pengaturan kembali, menurutnya, IPB University pernah dan berhasil mengajak para petani hortikultura di Desa Cibulao, yang sebelumnya menggunakan kawasan hutan lindung dan sempadan sungai untuk beralih menjadi petani kopi di lokasi yang sama. “Proses ini tentu membutuhkan waktu,” katanya.
Ia menyarankan agar pemerintah daerah memanfaatkan data yang ada, seperti peta bahaya, kerentanan, dan risiko, yang umumnya sudah ada di lembaga kompeten untuk langkah pencegahan. Data tersebut saat ini mesti dicek dan didetailkan kembali sebagai pijakan dalam menyusun langkah-langkah penting.
“Untuk keperluan operasional pencegahan, daerah berisiko banjir atau longsor harus dipantau secara sistematis, terutama di musim hujan. Di era digital, model deteksi dini berbasis spasial seharusnya bisa dikembangkan. Tentu dukungan kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan aparatnya juga harus diberikan,” kata dia.