DUKUNGAN kepada band Sukatani untuk tetap berkarya terus mengalir. Grup musik beraliran punk asal Purbalingga, Jawa Tengah, itu diduga mendapatkan intimidasi menyusul viralnya lagu berjudul ‘Bayar Bayar Bayar' karya band itu yang liriknya dianggap menghina polisi.
Bahkan sang vokalis, Novi Citra Indriyati alias Twister Angel, dipecat dari Sekolah Dasar Islam Terpadu (SD IT) Mutiara Hati di Kabupaten Banjarnegara, tempat dia mengajar. Meskipun Ketua Yayasan Al Madani Banjarnegara yang membawahi sekolah itu mengatakan pemecatan Novi sebagai guru pada Kamis, 6 Februari 2025, belum bersifat final. Novi adalah guru di sekolah tersebut sejak 2 November 2020.
Sebelumnya, melalui aku media sosial @sukatani.band pada Kamis, 20 Februari 2025, grup musik Purbalingga, Jawa Tengah, itu menarik lagu tersebut dari semua platform pemutar musik. Bahkan melalui unggahan di akun itu, dua personel Sukatani, gitaris Muhammad Syifa Al Lufti dan vokalis Novi Citra Indriyati, meminta maaf kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Polri.
Anggota Komisi I DPR Dukung Vokalis Band Sukatani Terus Berkarya
Anggota Komisi I DPR Amelia Anggraini mengatakan vokalis perempuan dari grup band duo Sukatani, Novi Citra Indriyati, harus mendapatkan dukungan untuk terus berkarya. Sebagai seorang perempuan yang mengabdikan diri dalam dunia pendidikan dan seni, menurut dia, Novi berhak mendapatkan perlakuan yang adil dan tidak diskriminatif.
Politikus Partai Nasdem itu menuturkan seluruh pihak perlu memastikan perempuan yang aktif di ruang publik tidak merasa takut dalam berkarya. “Saya menyampaikan keprihatinan atas kabar yang beredar mengenai saudari Novi Citra Indriyati, seorang guru honorer sekaligus vokalis band Sukatani, yang mengalami konsekuensi serius setelah menyampaikan kritik sosial melalui musik,” kata Amelia di Jakarta, Senin, 24 Februari 2025, seperti dikutip dari Antara.
Sebagai Anggota Komisi I DPR RI yang memiliki lingkup tugas dalam urusan kebebasan berekspresi dan ruang digital, Amelia menegaskan hak untuk berpendapat telah dijamin dalam Pasal 28E ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya.
Amelia juga menjelaskan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menegaskan hak setiap individu menyampaikan pendapat tanpa tekanan atau ancaman. Dia memastikan kebebasan berekspresi tetap menjadi prinsip utama dalam revisi UU Penyiaran yang sedang dibahas oleh Komisi I DPR. Sebab, kata dia, regulasi yang justru membatasi kritik sosial dan kreativitas anak bangsa, baik di media konvensional maupun ruang digital, harus dicegah. “Sebagai mitra kerja Kementerian Komunikasi dan Digital, saya juga mendorong kebijakan yang melindungi ruang ekspresi masyarakat tanpa melanggar norma hukum yang berlaku,” ujarnya.
Dia mengingatkan musik bukan sekadar hiburan, tetapi juga bentuk komunikasi sosial yang telah lama menjadi bagian dari demokrasi kita. Maka tidak boleh ada tekanan terhadap seniman yang menyuarakan realitas sosial melalui karya mereka. “Saya berharap semua pihak dapat mengedepankan dialog yang sehat, saling memahami, dan mencari solusi terbaik agar tidak ada ruang bagi pembungkaman kreativitas,” tutur legislator asal Daerah Pemilihan Jawa Tengah VII (Kabupaten Banjarnegara, Kebumen, dan Purbalingga) itu.
Kompolnas Sebut Lagu Karya Band Sukatani Bagian dari Kebebasan Berekspresi
Sebelumnya, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Choirul Anam menilai lagu dari grup musik Sukatani berjudul ‘Bayar Bayar Bayar’ adalah bagian dari kebebasan berekspresi. Sikap polri yang tersinggung dengan lagu itu menunjukan Polri masih antikritik. “Institusi kepolisian pernah mengalami hal serupa ketika banyak mural di mana-mana yang mengkritik kepolisian, mengkritik pemerintah, malah waktu itu Pak Kapolri mewadahi dengan yaudah dibuatkan lomba kritik dan masukan,” ucap Anam melalui keterangannya via voice note WhatsApp pada Sabtu, 22 Februari 2025.
Lomba kritik yang menurut pernyataan Anam pernah dilakukan di era Kapolri Listyo Sigit Prabowo itu bukan sekadar lomba, tetapi Polri juga memberi jaminan terhadap kebebasan berekspresi secara langsung. “Sehingga spirit pembangunannya dan ide-ide dasar terkait perubahan bisa langsung disampaikan kepada Kapolri dan institusi kepolisian,” tuturnya.
Sebab, kata dia, kebebasan berekspresi termasuk dalam genre hak manusia sebagaimana diatur pada Pasal 19 tentang Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. “Karenanya, gunakan kebebasan berekspresi ini sebagai bagian dari partisipasi publik untuk negara kita,” kata Anam.
Kebebasan Berekspresi Melalui Musik Adalah Hak Warga Negara
Anggota Komisi III DPR Abdullah meminta Polri menindak tegas pelaku yang diduga mengintimidasi grup musik Sukatani. Jika tidak, kata dia, isu tersebut bisa berpeluang menambah sentimen negatif publik kepada Polri, karena dituding melindungi anggotanya yang telah diduga mengintimidasi band tersebut. “Dugaan intimidasi yang dilakukan anggota polisi dari Polda Jawa Tengah ini terhadap anggota band Sukatani hingga mereka membuka topeng sebagai personalnya di atas panggung dan meminta maaf kepada polisi, adalah tanda tanya besar,” kata Abdullah di Jakarta, Senin.
Di tengah indeks demokrasi Indonesia yang menurun, dia mengingatkan anggota Polri tidak reaktif dan represif terhadap kritik mengenai kinerja mereka. Dalam konteks lagu yang mengkritik oknum polisi yang melakukan pelanggaran, menurut dia, hal itu tidak hanya dilakukan oleh Sukatani. Jauh sebelumnya, kata dia, kritik itu juga pernah dilakukan oleh pemusik hingga pesohor, seperti Iwan Fals, Pandji Pragiwaksono, The Brandals, dan lainnya.
“Anggota polisi mesti paham, bahwa kebebasan berekspresi yang disampaikan melalui bermusik adalah hak warga negara yang mesti dilindungi sesuai undang-undang dan peraturan yang berlaku, bukan malah sebaliknya,” ucap legislator asal Daerah Pemilihan Jawa Tengah VI (Kabupaten Magelang, Purworejo, Temanggung, Wonosobo, dan Magelang) itu.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menyebutkan kontroversi tersebut justru akan merugikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang sebelumnya sudah menegaskan pengkritik keras Polri adalah sahabat bagi Polri. Dia menuturkan Listyo telah menyatakan pihaknya tidak antikritik dan siap melakukan perbaikan pada Polri, dengan memberikan hukuman bagi mereka yang melanggar dan hadiah untuk mereka yang berprestasi.
Dia mengatakan pernyataan Kapolri itu sudah disampaikan berulang-ulang. Di sisi lain, Kapolri pun sudah membuktikannya dengan menyelenggarakan lomba stand up comedy dan mural untuk mengkritik kinerja kepolisian. “Dari situ, saya mengusulkan agar Polri juga dapat membuat festival musik yang isinya mengkritisi kinerja kepolisian,” ujar dia.
Amnesty Desak Kapolri Ungkap Pihak yang Intimidasi Band Sukatani
Adapun Amnesty International Indonesia mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengungkap pihak yang mengintimidasi band punk Sukatani karena lagu ‘Bayar Bayar Bayar’. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebutkan intimidasi dan penarikan karya seni dari ruang publik merupakan pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi.
Menurut Usman, tidak mungkin grup musik Sukatani membuat video permohonan maaf kepada Kapolri tanpa adanya tekanan. “Polri harus mengungkap siapa pihak-pihak yang diduga menekan Sukatani untuk membuat video permohonan maaf dan menarik lagu ‘Bayar Bayar Bayar’ dari ruang publik,” kata Usman dalam keterangannya kepada Tempo pada Jumat, 21 Februari 2025.
Amnesty juga mendesak Polri menjamin kebebasan setiap warga negara dalam berkesenian, dan memastikan band Sukatani terbebas dari segala bentuk ancaman maupun intimidasi dalam menyuarakan kritik sosial lewat karya-karya mereka.
Usman menjelaskan, dalam perspektif HAM, musik adalah salah satu pilar penting bagi masyarakat dalam menyalurkan aspirasi mereka terhadap realita yang mereka alami. Sebab, hak untuk berkesenian adalah bagian yang tak terpisahkan dari hak asasi manusia. Hak atas kebebasan berekspresi lewat karya seni dijamin dalam Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 dan dalam pasal 27 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
Dia mengatakan seni menjadi salah satu ruang publik yang akhir-akhir ini menjadi target represi dan pembredelan oleh negara. Pada Desember 2024, karya seni Lukis Yos Suprapto juga diturunkan dari galeri. Beberapa hari yang lalu pertunjukan drama “Wawancara Dengan Mulyono” juga dilarang dipentaskan.
Usman menyesalkan polisi yang semestinya bertugas melindungi HAM malah menjadi pihak yang memberangus hak dasar warga negara dalam menikmati dan menyebarkan karya seni.
Intan Setiawanty, Advist Khoirunikmah, Eka Yudha Saputra, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Pemda Terkena Efisiensi Anggaran, Sri Mulyani Sarankan Kepala Daerah Lakukan Ini