TEMPO.CO, Jakarta - Usulan perguruan tinggi bisa mengelola tambang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara. Beleid itu menyatakan bahwa wilayah izin usaha pertambangan untuk perguruan tinggi bisa diberikan dengan cara prioritas.
Dalam ketentuan itu, ada tiga hal yang menjadi pertimbangan pemberian izin tambang untuk perguruan tinggi, yakni mempertimbangkan luas wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) mineral logam, mempertimbangkan akreditasi perguruan tinggi, dan mempertimbangkan peningkatan akses dan layanan pendidikan bagi masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lantas, bagaimana tanggapan akademisi dan kampus soal wacana tersebut?
UGM
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Gajah Mada, Herlambang Perdana Wiratraman, mengkritik usulan pemerintah memberikan izin usaha pertambangan untuk perguruan tinggi. Menurut dia, usulan yang tertuang dalam revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba) merupakan bentuk kegagalan dalam mengelola negara. "Ini menunjukkan negara nggak becus mengurusi pendidikan. Bukan begitu caranya," ujar Herlambang kepada Tempo pada Rabu, 22 Januari 2025.
Dosen sekaligus peneliti Hak Asasi Manusia (HAM) ini juga mengatakan bahwa pengelolaan tambang selama ini selalu berdampak negatif terhadap lingkungan. Karena itu, menurut dia, tambang tidak dapat dianggap sebagai kebutuhan dalam dunia pendidikan. "Bagaimana mau percaya Selama ini belum ada rekam jejak tambang memproteksi lingkungan atau melindungi manusia," ujar dia.
Herlambang menegaskan konsesi pengelolaan tambang kepada kampus dengan alasan untuk pengembangan pendidikan bukan hanya merusak integritas dunia pendidikan, tetapi juga menghancurkan masa depan bangsa. "Ditambah lagi ini bertentangan dengan pencerdasan bangsa. Orientasinya akan ke bisnis," ucap dia.
Sementara itu, Sekretaris Universitas Gadjah Mada (UGM) Andi Sandi mengatakan mereka belum membahas soal usulan perguruan tinggi sebagai pihak yang bisa mendapatkan izin usaha tambang. "Sampai saat ini UGM belum mengambil kebijakan untuk ikut atau tidak dalam mengelola tambang," katanya saat dihubungi, Selasa, 21 Januari 2025. "Belum ada proses apa pun, sebab kami belum mendapatkan informasi apa pun."
UII
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid menolak adanya usulan pemberian izin usaha tambang untuk perguruan tinggi. Menurut dia, usulan yang masuk dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Mineral dan Batubara itu bukan berada di ranah universitas.
Fathul khawatir ketika kampus masuk ke ranah bisnis pertambangan membuat mereka tidak sensitif lagi terhadap pengembangan akademik. Seba, orientasi mereka berpotensi lebih condong mengembangkan bisnis tersebut.
“Uang itu kadangkala menghipnotis dan kalau itu terjadi, berbahaya,” kata Fathul Wahid saat ditemui di Resto Sabin Seken Living, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa, 21 Januari 2025.
ITB
Dekan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung atau FTTM ITB Ridho Kresna Wattimena mengatakan kampus punya kemampuan teknis seperti merancang hingga menjalankan tambang. Namun, ia menyebut kampus akan kesulitan soal pendanaan. “Yang perlu kami hati-hati itu pendanaan, dari mana uangnya, kalau dari kampus nggak punya duit,” ujarnya kepada Tempo, Rabu 22 Januari 2025.
Menurut guru besar di Kelompok Keahlian Teknik Pertambangan FTTM ITB itu, bisnis tambang tergolong sulit karena banyak faktor yang mempengaruhi. Contohnya terkait dengan fluktuasi harga komoditas barang tambang yang dipengaruhi oleh pasokan dan permintaan, semisal batubara. “Sanggup nggak perusahaan kampus bertahan dengan kondisi kalau 3-4 tahun harga komoditas tambangnya turun terus misalnya,” kata Ridho.
Dia mengatakan sepanjang peradaban manusia membutuhkan bahan tambang, bisnis tambang masih menjanjikan. Yang jadi masalah, kata dia, berkaitan dengan upaya mempertahankan dan keberlanjutan bisnis tambang dari faktor fluktuasi harga atau perubahan politik yang terjadi. Menurut Ridho, sepanjang perusahaan tambang bisa menerapkan kaidah good mining practice, bisnisnya bisa berkelanjutan.
M. Rizki Yusrial, Novali Panji Nugroho, Dede Leni Mardianti, dan M. Syaifullah berkontribusi dalam penulisan artikel ini.