TEMPO.CO, Jakarta - Sutradara Bong Joon Ho kembali dengan fiksi ilmiah lewat Mickey 17, sebuah film satir tentang kolonisasi, kekuasaan, dan nilai kemanusiaan dalam dunia yang semakin absurd. Setelah kesuksesan global dengan Parasite (2019), sutradara asal Korea Selatan ini tetap vokal dalam membaca permasalahan sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diadaptasi dari novel Mickey7 (2022) karya Edward Ashton, Bong membawa elemen-elemen khasnya—perpaduan humor gelap, sindiran politik, dan thriller. Film ini mengolah konsep keabadian dengan latar luar angkasa yang mempertemukan teknologi, politik, humor gelap, dan pertarungan eksistensial.
Review Film: Mickey 17: Siklus Kematian yang Tak Pernah Usai
“Apa rasanya mati?” itu pertanyaan paling sering yg dilontarkan kepada Mickey, diperankan oleh Robert Pattinson. Mickey Barnes, adalah seorang manusia 'expendable' alias pekerja kloning yang ditugaskan dalam misi kolonisasi planet Niflheim. Dengan teknologi pencetakan ulang tubuh dan transfer memori digital, ia terus-menerus mengalami kematian lalu dibangkitkan kembali melalui mesin. Tugas Mickey hanyalah untuk dikorbankan sebagai percobaan.
Contohnya pertama kali mendarat di Niflheim, ia segera mati karena virus mematikan. Proses reinkarnasinya menjadi eksperimen untuk menemukan vaksin yang memungkinkan manusia bertahan di planet tersebut. Namun, ketika Mickey-17 selamat dari insiden yang seharusnya membunuhnya, ia mendapati dirinya telah digantikan oleh Mickey-18 yang lebih agresif dan siap membunuhnya demi bertahan hidup. Di sinilah konflik utama dimulai, yaitu pertarungan eksistensi antara Mickey-17 dan Mickey-18.
Pattinson berhasil memerankan dua versi Mickey dengan cukup kontras. Mickey-17 lebih skeptis dan rapuh, sementara Mickey ke-18 lebih agresif dan impulsif. Namun, hubungan antara keduanya kurang tergali secara emosional. Konflik mereka dalam film lebih sering berubah menjadi komedi slapstick di setiap adegan.
Adegan dalam Film Mickey 17. Foto: Warner Bros.
Kolonisasi, Fasisme, dan Kapitalisme Daur Ulang
Kenneth Marshall (Mark Ruffalo), pemimpin ekspedisi yang karismatik sekaligus otoriter, menjalankan misi ini dengan impian menciptakan peradaban unggul di planet baru. Gagasan supremasi rasialnya, yang mengingatkan pada fasisme era modern, menjadi bayangan gelap dalam film ini. Bersama istrinya, Yifa (Toni Collette), ia membangun koloni seperti sekte, mengendalikan penduduk dengan janji keselamatan dan propaganda politik.
Bong tak hanya berbicara soal kolonialisme luar angkasa, tapi juga bagaimana manusia modern mengulang kesalahan sejarah: menjadikan manusia yang lain sebagai ancaman, mengeksploitasi tenaga kerja, dan mengorbankan individu demi sistem yang lebih besar.
Mickey, yang terus mati dan dihidupkan kembali, adalah metafora bagi buruh yang diperah hingga tak lagi bernilai, mudah diganti, dan tak memiliki hak atas tubuhnya sendiri. Alih-alih sekadar kisah petualangan luar angkasa, Mickey 17 juga membuka diskusi kompleks tentang moralitas, eksistensi, dan batas kekuasaan manusia terhadap kehidupan.
Ironi Pemahaman Manusia Soal Kolonialisme
Film ini juga menawarkan ironi tentang ketakutan manusia terhadap makhluk asing. Creepers, makhluk penghuni Niflheim, awalnya digambarkan sebagai ancaman. Namun, ketika Mickey-17 selamat berkat induk Creeper yang membawanya kembali ke permukaan, ia menyadari bahwa mereka bukan musuh. Justru manusia, dengan kepentingan ekspansionis dan ideologi supremasi, yang menjadi bahaya terbesar.
Di sinilah kelemahan Mickey 17 terlihat. Bong seolah ingin menyelipkan terlalu banyak pesan dalam satu film: kapitalisme yang tidak manusiawi, fasisme yang menyamar sebagai kepemimpinan visioner, eksploitasi lingkungan, hingga refleksi kompleks atas identitas diri. Akibatnya, narasi terasa tersendat oleh subplot film yang tumpang tindih.
Sinematografi dan Penyutradaraan yang Tetap Berani
Dalam durasi 2 jam 17 menit, Bong tetap bermain dengan estetika visual dan sinematografi yang khas seperti karya-kaya sebelumnya. Latar luar angkasa yang dingin berpadu dengan elemen komedi dan dialog absurd, kerap ia gunakan. Sinematografi yang dinamis mendukung nuansa satir, sementara desain makhluk alien yang unik—hibrida antara kecoa dan ulat—juga menambah visualisasi menarik dalam cerita.
Mickey 17 bukanlah film fiksi ilmiah konvensional. Meskipun alur film ini terkadang terasa cukup kompleks dengan banyaknya subplot, keberanian Bong dalam mengeksplorasi tema besar tetap memberikan pengalaman sinematik yang unik. Film ini juga tidak serumit karya Bong lainnya—Parasite atau Memories of Murder, tapi tetap menawarkan sajian yang berani, segar, dan penuh sindiran tajam terhadap sistem sosial dan politik yang kita kenal. Mickey 17 bisa ditonton di bioskop Tanah Air mulai 5 Maret 2025.