Revisi KUHAP, Akademikus Minta Pengawasan terhadap Polisi dalam Penyidikan Diperketat

2 hours ago 6

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi, Fachrizal Afandi, mengatakan polisi kerap melakukan kekerasan saat melakukan penyidikan. Menurut dia, kekerasan itu terjadi lantaran lemahnya pengawasan selama penyidikan berlangsung. Penyidikan oleh kepolisian juga kerap mengabaikan pemenuhan hak asasi manusia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdasarkan data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dalam kurun 2022-2023 ada 146 kasus kekerasan oleh polisi saat melakukan penyidikan. Kasus kekerasan itu, kata Afandi, melibatkan 294 korban. 

"Beberapa di antaranya bahkan meninggal dunia," kata Afandi dalam diskusi bertajuk Reposisi Polri dalam Sistem Peradilan Pidana yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube YLBHI, Kamis, 30 Januari 2025.

Afandi mengatakan praktik kekerasan itu bisa diakhiri dengan meningkatkan pengawasan terhadap penyidikan. Dia mengatakan DPR bisa memasukkan ketentuan itu dalam perubahan Undang-undang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP). "Yang terjadi selama ini yaitu lemahnya pengawasan terhadap penyidik dan besarnya kewenangan yang disalahgunakan," kata Afandi.

Selain itu, Afandi mengatakan selama ini proses penyidikan oleh kepolisian kerap mengabaikan pemenuhan terhadap hak asasi manusia. Menurut dia, dalam KUHAP yang berlaku saat ini, proses penyidikan berorientasi untuk menjatuhkan pidana.

"Seharusnya KUHAP mengatur proses penyidikan bukan untuk memidana, tapi untuk mengumpulkan alat bukti yang digunakan di persidangan. Maka penyidikan harus selaras dengan pembuktian dan penuntutan," kata Afandi.

Afandi mengatakan, kekeliruan tujuan penyidikan itu sering terbukti saat perkara memasuki tahapan persidangan. Misalnya, penyidik menyita barang bukti sebelum kasus dilimpahkan kepada kejaksaan. Namun, saat persidangan berlangsung, barang bukti tersebut tidak dihadirkan. "Atau kasus di mana penyidik memanggil saksi yang tidak dipanggil lagi di persidangan," ujar Afandi.

Selain itu, Afandi melanjutkan, dalam RUU KUHAP harus memuat ketentuan yang mengacu pada prinsip exclusionary rules. Prinsip ini mengatur bahwa alat bukti yang diperoleh dengan menggunakan kekerasan dan melanggar HAM tidak bisa digunakan dalam persidangan. "Sehingga bukti turunan dari penyidikan ketika prosesnya dilakukan secara sewenang-wenang juga dinyatakan tidak sah," katanya.

Masukan-masukan itu disampaikan Afandi merespons rendahnya efektifitas penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian. Sebab, kata dia, efektifitas penyidikan oleh polisi hanya 0,35 atau berada di peringkat 97 di dunia.

"Dalam konteks RKUHAP, semangatnya harus menjamin proses penyidikan tidak melanggar HAM. Bagaimana penyidikan yang 90 persen dilakukan oleh kepolisian dilakukan dengan cara menghormati HAM," ujarnya.

Sebelumnya, Komisi bidang Hukum DPR menggulirkan pembahasan Rancangan RUU KUHAP pada Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025. “Komisi III akan segera menyusun dan membahas RUU KUHAP pada masa sidang ini,” kata Ketua Komisi III DPR Habiburokhman pada Rabu, 22 Januari 2025.

Komisi III menargetkan penyusunan draf dan naskah akademik selesai pada masa sidang ini. “Dan masa sidang berikutnya akan segera dibahas sebagai RUU inisiatif DPR,” ujar politikus Gerindra ini.

Habiburokhman menargetkan KUHAP hasil revisi bisa berlaku bersamaan dengan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada 1 Januari 2026. 

Dia mengatakan semangat politik hukum KUHAP harus sama dengan semangat politik hukum yang terkandung dalam KUHP. 

“Pentingnya pengesahan ini karena KUHAP adalah hukum formal yang mengoperasikan pemberlakuan KUHP sebagai hukum materil,” ujarnya. Dia juga siap menerima masukan dari masyarakat selama penyusunan draf dan pembahasan aturan tersebut.

“Kita mulai dari nol, ini RUU inisiatif DPR, silakan dari kalangan masyarakat termasuk institusi penegak hukum untuk menyampaikan masukan," kata Habiburokhman.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |