Rupiah Melemah di Level Rp 16.339 per Dolar AS karena Tertekan Deflasi dan Sentimen Global

4 hours ago 5

TEMPO.CO, Jakarta - Mata uang rupiah kembali ditutup melemah pada perdagangan Kamis sore, 6 Maret 2025, turun 27 poin ke level Rp 16.339 per dolar AS setelah sebelumnya sempat menguat 50 poin. Dibandingkan penutupan sehari sebelumnya, rupiah berada di level Rp 16.312 per dolar AS, rupiah masih berada dalam tekanan.

Pengamat mata uang Ibrahim Assuaibi mengatakan rupiah masih berada dalam tekanan. Menurut dia, pergerakan rupiah besok diperkirakan tetap fluktuatif dengan rentang perdagangan di Rp 16.320 - Rp 16.370 per dolar AS.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pelemahan rupiah, kata dia, dipengaruhi oleh kombinasi faktor internal dan eksternal yang masih membayangi perekonomian nasional. Dari sisi domestik, ia mencatat deflasi pada Januari dan Februari 2025 menjadi salah satu isu utama yang mempengaruhi rupiah. Deflasi terjadi karena kebijakan diskon tarif listrik bagi pelanggan dengan daya di bawah 2.200 VA, yang menekan daya beli masyarakat.

Pemerintah tetap optimistis bahwa pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa mencapai 5,1 persen, tetapi disinflasi dari sisi penawaran terlihat dari penurunan rata-rata 7,7 persen secara tahunan pada inflasi yang diatur pemerintah selama dua bulan terakhir. Inflasi energi juga mengalami kontraksi rata-rata 16 persen secara tahunan.

“Di sisi lain, inflasi inti naik 2,5 persen secara tahunan, menandakan stabilnya permintaan. Seiring berlalunya dampak subsidi listrik, inflasi umum diperkirakan kembali menuju target Bank Indonesia sebesar 1,5 persen - 3,5 persen,” kata dia dalam keterangannya, Kamis sore, 6 Maret 2025.

Namun, dia mengatakan tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi semakin besar akibat tiga program utama Presiden Prabowo Subianto, yakni quick wins, efisiensi belanja, dan pembentukan Danantara. Program-program ini dinilai berpotensi menimbulkan risiko baru, terutama bagi penerimaan pajak, mengingat daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih.

“Dengan adanya deflasi selama dua bulan berturut-turut, Bank Indonesia akan menurunkan suku bunga acuan (BI Rate). Namun, keputusan ini masih tertahan oleh pelemahan rupiah, yang sempat mencapai titik terendah sejak pandemi Covid-19,” kata dia.

Dari sisi global, ia mengatakan tekanan terhadap rupiah juga datang dari kebijakan perdagangan Amerika Serikat. Gedung Putih baru saja mengumumkan pengecualian tarif baru sebesar 25 persen untuk impor kendaraan dari Meksiko dan Kanada selama satu bulan. Namun, Presiden Donald Trump tetap mempertahankan tarif 20 persen terhadap Tiongkok, yang memicu reaksi keras dari Beijing.

Selain itu, Trump dikabarkan mempertimbangkan penghapusan tarif 10 persen pada impor energi dari Kanada, seperti minyak mentah dan bensin, yang sesuai dengan perjanjian perdagangan yang ada.

“Dari Tiongkok, pasar masih mencerna janji pemerintah untuk menambah stimulus ekonomi, setelah dalam pertemuan tingkat tinggi pekan ini menetapkan target pertumbuhan PDB 2025 di angka 5 persen. Langkah ini diharapkan dapat menopang ekonomi Tiongkok yang tengah melambat,” ucapnya.

Pasar keuangan kini, lanjutnya, menantikan data penggajian nonpertanian AS untuk Februari, yang akan dirilis pada Jumat. Jika data menunjukkan kekuatan pasar tenaga kerja yang berkelanjutan, Ibrahim menyebut mungkin saja Federal Reserve (The Fed) akan memiliki lebih banyak alasan untuk mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama, sebuah faktor yang dapat semakin menguatkan dolar AS dan memberikan tekanan tambahan bagi rupiah.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |