TEMPO.CO, Jember - Suara tonggeret bersahutan di bawah rimbun pepohonan dan kebun kopi yang mengitari bangunan berarsitektur kolonial di Desa Sidomulyo, Kecamatan Silo, Kabupaten Jember. Semilir angin Gunung Gumitir menerobos teras Mrawan Cafe and Resto yang berkonsep heritage itu ketika Tempo melipir ngopi sejenak, Sabtu siang, 19 Oktober 2024.
Enam tenda kapasitas masing-masing enam orang dan kasur gantung terpacak di halaman cafe yang rindang. Lokasi cafe memang teduh karena di kawasan Gunung Gumitir, persis di pinggir jalur selatan jalan nasional Jember - Banyuwangi yang berkelok-kelok.
Tempat ngopi Mrawan Cafe and Resto di tengah perkebunan kopi Gunung Gumitir, Desa Sidomulyo, Kecamatan Silo, Kabupaten Jember pada Sabtu, 19 Oktober 2024. Enam tenda dan hammock mengisi halaman cafe yang asri dan teduh di pinggir jalur selatan jalan nasional Jember - Banyuwangi itu. TEMPO/Diananta P. Sumedi
Tempo memesan segelas es kopi susu Mrawan seharga Rp20 ribu. Es kopi ini berbahan kopi robusta asal Gunung Argopuro dan gula aren. Pelayan menyandingkan sebotol kecil gula aren di sebelah es kopi susu Mrawan. Jika kurang manis, Anda bisa menambahkan gula aren sesuai selera ke es kopi. "Di sini kopinya Robusta Argopuro dan Arabika Ijen," kata seorang pelayan, Danang Fitriadi.
Menurut Danang, Mrawan Cafe menyewa aset Perhutani yang sebelumnya difungsikan sebagai mess karyawan perkebunan dengan empat kamar tidur. Begitu disewa, pengelola merombak total interior bangunan menjadi berkonsep cafe. Cafe buka setiap hari pukul 10 pagi sampai pukul delapan malam, kecuali hari Senin libur. "Ramainya hari Minggu dan liburan. Kalau hari biasa sepi," tutur Danang.
Danang berkata enam tenda itu fasilitas gratis yang disiapkan untuk pengunjung yang ingin menikmati sunyi malam hari. Kalaupun butuh sleeping bag, ia menyiapkan gratis. Namun, kata Danang, pengunjung mesti membeli kudapan dan minuman ringan di cafe.
Selain menikmati kopi dan kudapan lain di cafe, Anda perlu menjajal treking menyusuri jalan setapak membelah kebun kopi ke terowongan kereta api peninggalan Belanda: Garahan. Anda hanya butuh waktu lima menit untuk tiba di Terowongan Garahan yang sepanjang 113 meter itu. Adapun satu terowongan lagi sepanjang 690 meter bernama Mrawan, namun lokasinya tidak bisa diakses lewat cafe. Pemerintah Hindia Belanda membangun terowongan kereta api Mrawan dan Garahan pada 1901-1902.
Jalan setapak menuju terowongan kereta api Garahan di tengah perkebunan kopi Gunung Gumitir pada Sabtu, 19 Oktober 2024. TEMPO/Diananta P. Sumedi
Iklan
Sebelum mendekati terowongan, Anda harus melintasi jembatan rel kereta api yang membuat sedikit bergidik. Secuil kisah proyek terowongan Mrawan tertulis dalam buku Glenmore, Sepetak Eropa Di Tanah Jawa karya Arif Firmansyah dan M Iqbal Fardian.
Mandor proyek terowongan itu bernama Madrakah atau Mbah Diun, pria asli Desa Gebang Girisuko, Yogyakarta. Ia pernah menjadi abdi dalem Keraton Yogyakarta dengan tugas membawa payung untuk Sri Sultan Hamengkubuwono VII yang memerintah Keraton pada 1877-1920. Tapi pada 1890-an, Mbah Diun merantau ke Madiun. Di perantauan, Mbah Diun kerap bergaul dengan pegawai Staats Spoorwegen (SS), perusahaan kereta api milik Hindia Belanda dan cikal bakal PT Kereta Api Indonesia (KAI).
"Mbah Diun punya kelebihan di bidang supranatural dan metafisika. Mbah Diun juga dikenal sosok linuwih secara spiritual dan boleh disebut Ki Ageng-nya Mediunan," tulis Arif Firmansyah dan Iqbal Fardian.
Adapun dalam pembukaan jalur kereta api yang dianggap keramat dan butuh pengetahuan lokal, Staats Spoorwegen biasanya menggelar sayembara. Mbah Diun, dalam buku itu, memenangkan sayembara pembukaan jalur kereta api Kalisat - Mrawan yang harus menembus Gunung Gumitir.
Mbah Diun memenangkan sayembara karena mampu menemukan jalur yang tepat dengan membuat terowongan. Sebagai pemenang sayembara, Mbah Diun menjadi mandor proyek terowongan yang dibangun antara tahun 1901-1902. Peran Mbah Diun dan pegawai SS dalam proyek terowongan Mrawan terlacak pada arsip foto koleksi Museum Tropen, Belanda.
Atas keberhasilan Mbah Diun, pemerintah Hindia Belanda menyodorkan dua opsi hadiah: rumah di Belanda atau tanah di dekat Sungai Takir. Mbah Diun menjatuhkan pilihan tanah dekat Sungai Takir atau tanah di timur Sungai Jagalan. Saat ini, lokasi itu dikenal kampung Mediunan yang masuk administrasi Kecamatan Glenmore, Kabupaten Banyuwangi.
Pilihan editor: Disebut Jokowi Ada Bau Kolonial, Bagaimana Sejarah Istana Bogor?