Siswa SMP Tak Bisa Baca Cermin Bobrok Pendidikan Indonesia

7 hours ago 6

Jakarta, CNN Indonesia --

Temuan ratusan siswa SMP di Buleleng, Bali yang tak bisa membaca dengan lancar menjadi peringatan keras bahwa pendidikan Indonesia tidak baik-baik saja.

Dari 34.062 siswa di Buleleng, sebanyak 155 siswa dinyatakan termasuk dalam kategori tidak bisa membaca (TBM). Sementara 208 siswa siswa termasuk dalam kategori tidak lancar membaca (TLM).

Adapun fenomena ini ditengarai disebabkan oleh berbagai faktor baik secara internal dan eksternal yang dialami oleh siswa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Secara internal, kurangnya motivasi, pembelajaran tidak tuntas, disleksia, disabilitas, dan kurangnya dukungan keluarga diduga menyebabkan siswa tak lancar membaca.

Adapun faktor eksternal yang diduga membuat siswa tak lancar membaca adalah efek jangka panjang pembelajaran jarak jauh (PJJ), kesenjangan literasi dari jenjang SD, pemahaman keliru tentang kurikulum, kekhawatiran tenaga pendidik terhadap ancaman hukum dan stigma sosial, hingga faktor keluarga yang menyebabkan psikologis siswa terganggu.

"Misalnya siswa memiliki trauma di masa kecil akibat kekerasan rumah tangga, perceraian, atau kehilangan anggota keluarga. Atau korban perundungan," kata Plt Kepala Disdikpora Buleleng Putu Ariadi Pribadi.

Fenomena ini juga seakan-akan menunjukkan sistem pendidikan kita tak berkembang sejak Indonesia merdeka 80 tahun lalu.

Pendidikan kita masih berkutat ihwal kemampuan membaca sementara negara lain telah berkutat memanfaatkan mesin dan kecerdasan buatan.

Program Pemberantasan Buta Huruf yang digulirkan Presiden pertama RI Sukarno pada medio 1948 juga tampaknya masih relevan untuk kembali digulirkan.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan temuan siswa tak bisa membaca di Buleleng ini adalah fenomena gunung es.

Ubaid menyebut sebelumnya sudah banyak daerah dengan siswa yang tidak lancar membaca yang ditemukan selain di Buleleng. Kondisi siswa tidak bisa membaca itu juga kerap ditemukan pada siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) di beberapa daerah.

"Sayangnya ini tidak dianggap masalah serius, terkesan terjadi pembiaran, jadi sekarang fenomenanya tambah banyak merebak," kata Ubaid kepada CNNIndonesia.com Selasa (15/4) malam.

Ubaid menilai fenomena ini juga menunjukkan sistem pendidikan Indonesia telah gagal dalam memberikan jenjang dasar pendidikan yakni membaca.

Hal itu terlihat dengan maraknya fenomena kursus dan bimbingan membaca di luar sekolah yang ramai dan diminati oleh masyarakat.

"Lembaga-lembaga kursus ini, banyak sekali peminatnya. Mengapa ini bisa terjadi? Jelas karena sekolah gagal mengajari anak membaca," ujar dia.

"Kalau di sekolah anak diajari membaca dengan baik, maka anak cukup belajar di sekolah, tapi kenapa ini orang-orang tua berbondong-bondong mengursuskan anak-anaknya untuk bisa membaca di lembaga kursus. Ini ironi," sambungnya.

Ubaid menilai fenomena siswa SMP-SMA tak bisa membaca ini disebabkan oleh sejumlah faktor dan tidak bisa dilepaskan dengan gagalnya kebijakan pendidikan di Indonesia.

Salah satunya, kata dia, adalah kebijakan pendidikan di Indonesia yang tidak konsisten dengan selalu berganti tiap pergantian menteri.

"Ganti menteri, ganti kebijakan. Ini tradisi buruk yang harus diputus, jangan diteruskan. Apalagi perubahannya tidak berdasarkan evaluasi dan kajian berbasis data," tutur dia.

Ia menilai fenomena ini juga disebabkan oleh masih banyaknya masalah yang dialami para guru. Mulai dari masalah kesejahteraan hingga mutu guru.

"Berdampak pada rendahnya kompetensi guru, baik dari sisi profesionalisme-nya maupun kemampuan pedagogi-nya," ujar dia.

Tak hanya itu, Ubaid menilai ragam permasalahan yang masih dialami guru juga diperburuk dengan ekosistem pendidikan Indonesia yang bermasalah. Salah satu bentuk buruknya ekosistem pendidikan Indonesia adalah tidak adanya budaya membaca di sekolah.

"Guru-guru disibukkan dengan urusan administratif, karena itu minat baca guru juga sangat rendah. Apalagi siswanya juga sangat parah. Belum lagi faktor keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam pendidikan, ini sangat minim sekali untuk mengatakan bahkan tidak ada," tutur dia.

Menurut Ubaid, langkah komprehensif perlu diambil oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan darurat membaca ini. Langkah itu meliputi peningkatan kualitas guru, penyediaan pembiayaan sekolah, hingga perbaikan ekosistem pendidikan Indonesia.

"Kualitas gurunya harus ditingkatkan, semua harus di atas standar rata-rata nasional," ujar dia.

"Ketersediaan pembiayaan sekolah dan infrastruktur penunjang. Banyak anak enggak bisa sekolah karena sekolah masih berbiaya mahal. Di Sekolah negeri banyak pungli, dan di sekolah swasta biayanya sangat mahal. Ini sangat memberatkan orang tua," imbuhnya.

Di sisi lain, Ubaid turut menyoroti upaya pemerintah yang ingin memperbaiki kualitas pendidikan dengan memberikan makan bergizi gratis kepada anak-anak sekolah.

Ubaid menilai upaya perbaikan gizi anak-anak sekolah untuk perbaikan kualitas sumber daya manusia harus dilakukan berdasarkan data dan tidak asal-asalan.

"Jangan semua anak dari SD-SMA diberi makan semua. Banyak yang enggak butuh dan buang-buang makanan di sampah. Itu pemborosan anggaran. Daerah mana saja yang angka ketercukupan gizinya rendah, itu yang harus dipenuhi, jangan semua daerah digebyah uyah," ujar dia.

Senada, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru Satriwan Salim mengakui permasalahan siswa tak bisa membaca ini tidak terlepas dengan kondisi pendidikan Indonesia yang stagnan.

Ia menyinggung ketiadaan rencana jangka panjang pendidikan Indonesia yang dimiliki oleh pemerintah.

"Nah, jadi ini adalah akumulasi dari kita secara nasional waktu itu memang belum memiliki peta jalan pendidikan. Bagaimana rencana besar atau grand design pendidikan kita itu 20-30 tahun ke depan gitu," ujar dia kepada CNNIndonesia.com, Rabu (16/4).

Di sisi lain, ia mengkritik upaya pemerintah memberikan makan bergizi gratis untuk memperbaiki pendidikan Indonesia yang tertinggal.

Ia menilai upaya perbaikan pendidikan Indonesia tidak akan berhasil tanpa pemerintah melakukan perbaikan fundamental dalam sistem pendidikan saat ini.

"Ini kan persoalan yang sifatnya fundamental, tapi kebijakannya adalah makan bergizi gratis," ujar dia.

"Jadi dia beriringan. Anaknya dikasih makan, tapi kualitas pembelajarannya dibentuk, dibangun. Anaknya dikasih makan, tetapi sekolahnya dilengkapi sarananya," imbuhnya.

(isn/mab/isn)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |