TEMPO.CO, Jakarta - Kunjungan luar negeri perdana Presiden Prabowo Subianto langsung menuai kegaduhan. Sebab, kalangan pakar hukum internasional dan hubungan internasional menganggap pernyataan bersama Presiden Prabowo dan Presiden Cina Xi Jinping sebagai kemunduran dalam diplomasi Indonesia di Laut Cina Selatan.
Hikmahanto Juwana, guru besar hukum internasional Universitas Indonesia (UI), mempertanyakan wilayah tumpang-tindih tersebut. Dia menduga kawasan itu adalah perairan di timur laut Kepulauan Natuna, lokasi persinggungan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia dan sembilan garis putus atau Nine Dash Line Cina. Perairan itu dikenal dengan Laut Natuna Utara.
"Jika benar, berarti kebijakan luar negeri Indonesia ihwal sembilan garis putus berubah drastis, fundamental, dan berdampak pada geopolitik kawasan," ujar Hikmahanto kepada Tempo pada Selasa, 12 November 2024.
Apa itu Nine Dash Line?
Cina mengaku sebagai penguasa sekitar 90 persen Laut Cina Selatan. Klaim itu pertama kali dikemukakan pada 1948 lewat penggambaran sebelas garis putus di peta mereka yang menjorok jauh hingga mendekati Vietnam di timur, Filipina di barat, serta Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam di selatan. Seiring berjalannya waktu, jumlah garisnya berubah-ubah. Bisa sembilan, sepuluh, atau sebelas. Namun masyarakat internasional lebih mengenalnya sebagai Nine Dash Line.
Dalam paparannya di The Conversation, Professor Hukum Internasional dari Australian National University Donald Rothwell menyebut garis tersebut telah lama menimbulkan berbagai spekulasi tentang maksud dari cakupan wilayah itu. Cina tidak pernah secara eksplisit menjelaskan apa saja yang tercakup dalam klaim tersebut tetapi tetap terus-terusan mengungkapkan klaimnya.
Hal ini mulai jadi sorotan sejak Malaysia, Filipina, dan Vietnam mulai mengajukan klaim mereka sendiri atas sebagian Laut Cina Selatan, yang cakupannya tumpang tindih dengan Nine Dash Line. Pengaduan yang dilakukan bersama-sama oleh Malaysia dan Vietnam pada 2009 ka Komisi Batas Landas Kontinen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyoroti persaingan klaim atas landas kontinen di Laut Cina Selatan.
Dalam tanggapan diplomatik resmi kepada PBB, Cina mengklaim memiliki kedaulatan yang tak terbantahkan atas pulau-pulau di Laut Cina Selatan dan perairan sekitarnya, dan menikmati hak kedaulatan dan yurisdiksi yang tak terbantahkan atas perairan di wilayah terkait, serta dasar laut dan tanah di bawahnya.
Cina melampirkan salinan peta Nine Dash Line dan menyatakan bahwa “posisi yang tergambar di atas secara konsisten dipegang oleh Pemerintah Cina, dan diketahui secara luas oleh masyarakat internasional.”
Namun, ternyata klaim tersebut tidak benar-benar diketahui oleh atau diberitahukan secara luas kepada komunitas internasional. Sejak saat itu, Komisi Batas Landas Kontinen telah menjadi semacam medan pertempuran hukum de facto terkait pandangan mengenai status Nine Dash Line.
Pada 2016, Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut di PBB memutuskan dengan suara bulat bahwa klaim Cina tidak memiliki dasar dalam hukum internasional. Putusan itu ditolak oleh Cina. Meskipun Filipina memenangkan argumen hukum bahwa Nine Dash Line tidak memiliki dasar dalam hukum internasional modern atau hukum laut, Cina menolak untuk menghormati hasil putusan tersebut dan terus menegaskan haknya atas Laut Cina Selatan.
Pemerintah Cina juga telah melakukan berbagai cara. Langkah yang dilakukan meliputi pembangunan pulau buatan di Laut Cina Selatan, mengusik pesawat angkatan laut dan militer asing yang melewati wilayah tersebut, mengintimidasi nelayan Vietnam dan nelayan asing lainnya, memaksakan hak untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi cadangan minyak dan gas maritim, dan terus menerbitkan peta yang menggambarkan klaim Nine Dash Line.
HATTA MUARABAGJA | SAVERO ARISTIA | REZA MAULANA