TEMPO.CO, Jakarta - Laporan berjudul ‘Esktraksi Baterai’ yang disusun sejumlah organisasi masyarakat sipil dari Indonesia dan Korea Selatan menguak masalah lingkungan dan sosial pada hulu rantai pasok baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV). Laporan yang diterjemahkan dari versi asli Bahasa Inggris itu juga menyinggung aktivitas investasi perusahaan Korea di Indonesia. Substansinya dikumpulkan dari investigasi lapangan pada Juli 2024, terhadao penambangan nikel di Desa Lameruru, Kecamatan Langgikima, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
Merujuk laporan tersebu, penambangan beberapa mineral bahan baku utama baterai EV, seperti litium, kobalt, dan nikel terbukti merusak lingkungan dan melanggar hak asasi manusia. Situasi kerusakan itu terjadi di tengah tingginya permintaan produksi baterai lithium-ion, mengikuti perkembangan pasar kendaraan listrik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Permintaan nikel, bahan yang krusial untuk menambah energi dan umur baterai lithium-ion, diperkirakan meningkat 40 kali lipat pada 2040. Indonesia bakal menjadi pemasok utama yang menyumbang sekitar 50 persen produksi nikel di dunia.
Masalahnya, penambangan dan pemurnian mineral penyokong baterai EV ini telah menghasilkan emisi karbon skala besar. Dalam proses produksinya, ada juga deforestasi akibat proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, hilangnya keanekaragaman hayati, serta polusi air dan udara. Laporan koalisi masyarakat sipil dari dua negara itu juga menyinggung maraknya perampasan tanah dan mata pencarian masyarakat di lokasi proyek, kemudian pelanggaran terhadap hak perempuan, anak-anak, serta hak atas air.
Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Puspaham) Kisran Makati mengatakan masyarakat, yang terdampak proyek ekstraktif, kini harus bergantung pada pedagang dari luar daerah untuk memenuhi kebutuhan pokok. "Hanya segelintir orang yang memperoleh penghasilan dari bekerja di pertambangan,” katanya dalam konferensi pers di kawasan Jakarta Pusat pada Rabu, 12 Februari 2025.
Menurut dia, hutan dan lingkungan milik masyarakat asli juga tercemar ketika pertambangan ditutup. Kerugian lainnya berupa penindasan atau represi fisik terhadap warga yang menolak tambang.
Minat Investasi Korsel di Sektor Nikel
Adapun Direktur Advocates for Public Interest Law (APIL) Shin-young Chung lebih menyoroti urgensi pembentukan aturan ihwal uji tuntas hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Kedua isu tersebut urgen diatasi karena sering muncul dalam rantai pasok produksi baterai EV. "Partisipasi para pemangku kepentingan harus dijamin,” kata Chung dalam agenda yang sama.
Menurut Chung, investasi perusahaan Korea di industri nikel Indonesia terus meningkat, mencakup pertambangan dan manufaktur baterai EV. Pada kuartal II 2024, perusahaan Korea melakukan investasi hingga US$ 1,3 miliar di Indonesia, naik 1.200 persen dibanding periode yang sama pada 2023.
"Perusahaan-perusahaan besar terus mengumumkan rencana investasi baru di fasilitas penambangan dan pemurnian (smelter)," tutur dia.
Climate Ocean Research Institute (CORI), organisasi sipil asal Korea Selatan, juga mendesak perusahaan dari negaranya untuk mengurangi dampak proyek ekstraktif terhadap lingkungan dan masyarakat. Ketua CORI Hyelyn Kim menyatakan Pemerintah Korea Selatan harus memberikan lebih dari sekadar dukungan terhadap pengembangan sumber daya di luar negeri.
“Harus membangun mekanisme yang kuat untuk mengidentifikasi dan menangani perusahaan yang terlibat dengan pelanggaran hak asasi manusia dan lingkungan hidup," ucap Kim.
Direktur Institute for National and Democracy Studies (INDIES) Kurniawan Sabar menyoroti kenyataan bahwa rantai pasok produksi EV justru merusak ekosistem dan kehidupan sosial. Padahal, produk itu dipromosikan sebagai angkutan ramah lingkungan. “Yang kita perlukan untuk masa depan yang berkelanjutan bukanlah lebih banyak mobil, namun penggunaan sumber daya dan pelestarian lingkungan yang lebih adil,” katanya.