Transisi Energi Inklusif di Tangan Perempuan Desa Nusa Tenggara

2 days ago 18

TEMPO.CO, Jakarta - Regina Azi, warga Desa Bantala, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), mengaku lega tak lagi harus menghabiskan lima liter minyak tanah per minggu untuk memasak. "Semenjak ada briket, penggunaan minyak berkurang jadi satu sampai dua liter seminggu. Itu sangat membantu," ujarnya kepada Tempo di Hotel Lombok Raya, Nusa Tenggara Barat (NTB), Senin, 28 April 2025.

Selama setahun terakhir, Regina dan Komunitas Sekolah Kelapa Wolosina Watoboki memilih briket sebagai solusi mengurangi ketergantungan terhadap minyak tanah dan kayu bakar. Ia menyebut pemanfaatan limbah kelapa sebagai briket bukan sekadar alternatif bahan bakar, melainkan bagian dari pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT). Bersama 15 anggota komunitas, Regina aktif menyosialisasikan manfaat dan proses pembuatan briket ke desa-desa sekitar.

Dalam satu tahun, komunitasnya telah menjual sekitar 500 kilogram briket dengan harga Rp13.000 per kilogram. Pembeli utamanya berasal dari daerah lokal seperti Maumere dan Ende.

Menurut Regina, briket juga membantu meringankan beban kerja domestik perempuan. Waktu yang biasanya dihabiskan untuk mencari kayu bakar kini bisa mengalihkannya untuk melakukan aktivitas lain.

Upaya serupa dilakukan perempuan di Desa Umbu Ngedo, Sumba Barat Daya, NTT. Dengan pendampingan dari Circle of Imagine Society (CIS) Timor, mereka mengembangkan tiga alat berbasis EBT, yakni tungku hemat energi, lampu pelita hemat energi, dan penyaring air hujan.

Plt. Kepala Desa Umbu Ngedo Yohanes Odo Ate menjelaskan penggunaan tungku hemat energi mampu mengurangi konsumsi kayu bakar. Sebelumnya, satu orang biasanya memerlukan satu ikat berisi 50 batang kayu. Kini cukup membawa sepotong kayu berdiameter 20 cm. Ia menyebut waktu yang dihemat dari dapur memberi ruang bagi perempuan untuk mengekspresikan diri di luar ranah domestik.

Di Desa Rarang, NTB, 20 perempuan anggota Sekolah SETARA mengembangkan biogas dari kotoran ternak untuk mengatasi mahalnya harga gas elpiji. Selain jadi sumber energi alternatif, biogas juga mengurangi limbah ternak dan sampah organik.

Sri Anom, salah satu anggota, mengatakan keberhasilan program ini mendorong pemerintah desa mengalokasikan anggaran khusus untuk pengembangan biogas pada 2026. Desa Rarang pun direncanakan menjadi rujukan bagi dusun-dusun lain dalam hal produksi biogas.

Sri mengungkapkan awalnya masyarakat meragukan inisiatif ini karena digerakkan perempuan dan kelompok rentan seperti penyandang disabilitas dan buruh tani. Namun, keberhasilan mereka memproduksi gas dari limbah ternak mengubah pandangan warga. “Ketika dibangun, mulai berubah pandangan mereka tentang perempuan dan apa yang kami lakukan,” kata Sri.

Dosen Sosiologi Universitas Teknologi Sumbawa, Fahrunnisa, menyatakan NTB menargetkan net zero emission (NZE) pada 2050—sepuluh tahun lebih cepat dari target nasional. Menurutnya, potensi EBT di wilayah ini sangat besar. Berdasarkan data Local Governments for Sustainability (ICLEI) tahun 2022, Sumbawa memiliki potensi panas bumi 75 megawatt (MW); sampah kota 1.355 gigawatt-hour (GWh); biogas dari limbah jagung 2.210 GWh; sekam padi dan jerami 31.064 GWh; dan kelapa 12 GWh.

Namun, Fahrunnisa menilai pelaksanaan transisi energi di NTB selama 2009–2023 belum sepenuhnya berkeadilan. Kebijakan transisi masih terfokus pada pembangunan infrastruktur, minim partisipasi masyarakat, dan keterbatasan informasi mengenai perencanaan maupun implementasi.

Ia menyebut, masukan dari hasil riset Yayasan Penabulu mendorong Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) NTB memasukkan pendekatan gender equality, disability, and social inclusion (GEDSI) dalam Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun 2024 tentang Pengembangan Energi Hijau. Fahrunnisa kini tergabung dalam GEDSI JET Working Group, forum yang mendorong implementasi transisi energi inklusif. Saat ini mereka masih menunggu Dinas ESDM NTB merampungkan petunjuk teknis pelaksanaan peraturan tersebut.

Project Manager Cis Timor, Lusia Carningsih Bunga atau Ningsi, menyoroti dominasi laki-laki dalam pengambilan keputusan sektor energi. “Kami mendorong perempuan terlibat dalam kepemimpinan dan pengambilan keputusan,” ujarnya. Ia menambahkan, dominasi ini membuat banyak perempuan tidak memahami energi bisa digunakan untuk meringankan beban kerja mereka. Ia mencontohkan pemanfaatan pompa air tenaga surya bagi ibu rumah tangga yang selama ini harus berjalan jauh untuk mendapatkan air bersih.

Ketika perempuan memahami sektor energi, kata Ningsi, mereka bisa memenuhi kebutuhan sekaligus meringankan beban pekerjaan rumah tangga. “Inilah yang ingin kita majukan untuk perempua, pengetahuan terlebih dahulu,” ujarnya.

Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati Tangka menyebut konstruksi sosial membuat perempuan kerap luput dari dinamika sektor energi. “Paradigma penyedia edukasi dan informasi masih menganggap energi bukan pengetahuan perempuan,” ujarnya.

Menurut Mike, sektor-sektor seperti infrastruktur, perubahan iklim, keuangan, ekonomi, dan energi masih dianggap sebagai isu maskulin. Perempuan yang ingin terlibat di sektor ini sering kali dipertanyakan, bahkan jika memiliki kapasitas sekalipun. “Dia baru bisa bicara kalau dia punya keilmuannya. Ini yang harus kami branding,” ujarnya.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |