TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) tengah gencar mengadakan penyuluhan dan bimbingan jabatan ke sekolah, perguruan tinggi, dan balai pelatihan kerja. Hal ini tak lepas dari Kemenaker ingin para calon pekerja, di antaranya para Gen Z, mengetahui medan dan kiat mencari pekerjaan.
Direktur Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri Kemenaker Siti Kustiati mengatakan penyuluhan itu memberi prioritas kepada kalangan generasi Z (Gen Z). Merujuk Pew Research Center, istilah Gen Z mengacu pada orang yang lahir pada periode 1997 hingga 2012.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Indonesia, Gen Z menduduki jumlah terbesar dengan persentase 22 persen dari total populasi. Nahas, Badan Pusat Statistik (BPS), mencatat pada 2023, ada 9,9 juta penduduk generasi muda usia 15–24 tahun tidak bekerja dan tidak sedang sekolah atau menjalani pelatihan. Dari jumlah itu, ada 5,73 juta perempuan muda menanggur, sedangkan 4,17 juta orang adalah laki-laki muda.
Perempuan yang akrab disapa Oky itu menyebut ada perusahaan yang mengeluhkan Gen Z tak tahan menghadapi tekanan kerja yang menuntun mereka melepas pekerjaannya. Alasan lainnya, Gen Z dianggap kurang inisiatif, mudah bosan, dan hingga kurang maksimal ketika bekerja dalam tim.
Oky khawatir, bila hal ini terus berlanjut, Gen Z akan meningkatkan angka pengangguran terbuka. “Kami juga berupaya membuat suatu program yang bisa memudahkan Gen Z tidak minus seperti yang disampaikan pemberi kerja,” katanya dalam dialog terfokus bersama Tempo pada Kamis, 10 Oktober 2024.
Menurut Oky, Gen Z juga memiliki kecenderungan untuk bekerja sesuai dengan passion mereka, alih-alih sekadar berdasarkan latar belakang pendidikan. Oky menyebut kelompok ini juga dominan menyukai pekerjaan yang bisa selesai dengan telepon pintar di tangan. “Lebih menyukai pekerjaan yang bisa diselesaikan dengan IT."
Hasil sigi Tim Jurnalisme Konstruktif Tempo di kalangan Gen Z soal kesulitan mereka dalam mencari pekerjaan menemukan beberapa fenomena berkaitan dengan Gen Z dan tenaga kerja. Survei daring ini berlangsung sepekan, sejak 1 hingga 7 November 2024. Dari total responden, ada 22,5 persen mengatakan masih belum bekerja.
Sejumlah alasan dikemukakan oleh mereka, namun mayoritas dari mereka menyebutkan persaingan ketat menjadi faktor utama. Alasan lain adalah mereka yang mengaku belum memiliki keterampilan, tak punya modal, gaji yang ditawarkan pemberi kerja belum sesuai, hingga sempitnya lapangan kerja.
Kisah Niko Sulpriyono, misalnya, yang sejak terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dari tempat kerjanya pada Desember 2023. Saat ini ia saat ini masih kesulitan mencari pekerjaan.
Awalnya, ia bekerja di sebuah perusahaan media daring. Laki-laki lulusan salah satu universitas negeri di Yogyakarta itu mengatakan selama setahun atau hingga Desember 2024 ini juga telah melamar ke puluhan perusahaan.
Meski berlatar belakang pendidikan Akidah Filsafat Islam, Niko yang kini berusia 23 tahun itu telah mencoba melamar ke perusahaan media, bank, dan startup. “Kriteria calon terlalu tinggi, yang sama lamar belum cocok. Tidak ada panggilan,” kata Niko saat dihubungi melalui sambungan telepon pada Kamis, 19 Desember 2024.
Kriteria yang dimaksud Niko ialah perusahaan kerap memasang banyak jobdesk dalam satu lowongan kerja. Dia mencontohkan startup yang akan merekrut tenaga kerja selain mensyaratkan calon pelamar kerja dengan latar belakang pendidikan tertentu, tapi juga harus piawai menangani media sosial, bisa menulis, dan sejenisnya.
Bahkan, tak jarang ada syarat berupa perawakan hingga tinggi badan tertentu bagi calon pekerja yang melamar. “Bisa dipikir, ini tidak sesuai tupoksi yang dikerjakan. Perusahaan terlalu aneh,” kata dia.
Meski puluhan surat lamaran kerja yang dikirimnya belum berbuah manis, Niko terus gigih mencari kerja. Bagi dia, nama beken perusahaan tak penting. Laki-laki yang kini berdomisili di Yogyakarta itu hanya menarget perusahaan yang mematuhi Undang-undang Ketenagakerjaan, jenjang karir jelas, dan memanusiakan karyawannya.
“Saya ingin balance. Kriteria itu saja,” ujarnya.
Sementara itu, Izzul Faturrizky, seorang pekerja di salah satu perusahaan pelat merah bagian IT di Tangerang, Banten, mengatakan dirinya akan betah apabila bekerja sesuai dengan latar belakang pendidikannya, yaitu Sistem Informasi.
Ia menceritakan di awal pertama kalinya bekerja sangat antusias karena ditempatkan di bagian IT di sebuah perusahaan properti di Yogyakarta. Namun, kondisi itu tak terjadi di tempat kerja keduanya yakni di bagian administrasi pada perusahaan tambang di Kalimantan.
Pria berusia 24 tahun itu sempat bekerja di Kalimantan selama tiga bulan. Tapi Izzul mengaku tak menemukan passion dalam pekerjaan ini. “Dari background IT, tiba-tiba ke administrasi. Itu berbeda,” kata dia. Pada akhirnya, ia pun keluar dan bekerja di tempatnya sekarang.
Bagaimana Perusahaan Memandang Gen Z?
Founder dan CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra menjelaskan ada banyak lamaran masuk dari Gen Z ketika perusahaan microfinance atau lembaga keuangan mikro miliknya itu membuka lowongan. Namun, dari semua lamaran yang masuk tak semua sesuai dengan kriteria perusahaannya.
Eks Staf Khusus Presiden ke-7 Joko Widodo itu menginginkan para calon pelamar kerja di perusahannya tak sekadar bekerja, tapi juga bisa membangun lingkungan yang saling mendukung, bisa menyelesaikan pekerjaan dengan baik, hingga memiliki kemampuan memecah masalah secara mandiri.
“Mentalitas dan resiliensi, endurance meluangkan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan panjang,” kata Taufan saat dihubungi pada Kamis, 19 Desember 2024.
Bagi Taufan, merekrut pekerja dari kalangan Gen Z bisa menjawab tantangan bisnis di masa depan. Dari seribu pekerja Amartha, misalnya, 75 persen di antaranya berasal dari Gen Z.
Para pekerja ini berasal dari beragam latar pendidikan, dari sekolah menengah atas hingga sarjana. Mereka pun menduduki berbagai posisi, seperti kepala tim, data, teknologi, hingga pemasaran produk.
“Anak muda saya akui lebih cepat belajar hal baru, menggunakan Artificial Intelligence (AI), hingga problem solving,” kata dia.
Menurut dia, secara bisnis memang ada manajemen risiko bagi sebuah perusahaan. Namun, langkah itu dianggap terlalu standar sehingga membutuhkan skema yang relevan dan pendekatan yang kekinian. Taufan menyebut Gen Z bisa menjawab tantangan itu. “Kalau mau tumbuh berani, pendekatannya harus berbeda."
Taufan mengatakan Amartha juga telah menyiapkan perlakuan khusus untuk pekerja yang berasal dari kalangan Gen Z. Selain membantu pengembangan kapasitas mereka, Taufan mengatakan Amartha juga mengapresiasi setiap hasil kerja yang telah diselesaikan. Apresiasi itu tak harus uang atau insentif, tapi membangun lingkungan kerja hingga jenjang karir yang jelas.
Di Amartha, Taufan bercerita, Gen Z bisa menduduki posisi strategis apabila kinerja mereka berhasil. “Bahkan bisa selevel dengan yang berusia 40 tahun,” kata Taufan.
Selain Amartha, PT Astra International Tbk pun sengaja memprioritaskan untuk merekrut pekerja dari kalangan Gen Z untuk berusaha relevan dengan perkembangan pasar. Produsen otomotif yang berdiri sejak 1957 ini memperkirakan pasar dalam negeri akan didominasi oleh generasi milenial dan gen Z dalam jangka panjang.
Head of Brand Communications Astra Yudha Prasetya mengatakan Gen Z sangat berkontribusi di perusahannyanya, apalagi ketika mereka telah menemukan passion-nya. Fenomena itu juga dibuntuti dengan antusias dan semangat kerja.
“Memang pendekatannya sekarang beda. Nggak bisa nih Gen Z dipaksa, apalagi katanya mereka lemah,” kata Yudha dalam Indonesia Millennial and Gen Z Summit, Jakarta, Selasa, 22 Oktober 2024.
Menurut Yudha, pengguna otomotif saat ini mungkin lebih banyak berasal dari generasi yang lebih tua. Namun dalam waktu mendatang, ia ingin Astra setidaknya menjadi pilihan utama generasi milenial dan gen Z. Karena itu, keterlibatan para anak muda ini akan membantu kinerja perusahaannya ke depan.
Sebuah jenama atau brand, kata Yudha, saat ini tak boleh sombong hanya karena mereka besar. Begitu juga, mereka tak boleh terlalu percaya diri akan menjadi market leader selamanya. Sebab, selama tak mau menyesuaikan dengan perubahan zaman, jenama itu akan tergantikan. Ia pun menggarisbawahi pasar Gen Z tetap penting untuk jangka panjang.