Veronica Tan Sebut Perempuan Perlu Dilibatkan dalam Pengambilan Keputusan

6 hours ago 6

CANTIKA.COM, Jakarta - Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Veronica Tan, menekankan bahwa kesetaraan gender bukan sekadar wacana, melainkan isu mendesak yang membutuhkan percepatan aksi nyata dari semua pihak. Dalam Diskusi Komunitas Magdalene bertema “Why Gender Equity Matters and We Need to #AccelerateActions” yang digelar pada 13 Maret 2025 dalam rangkaian peringatan International Women's Day. Ia menyuarakan kekhawatiran atas potensi kemunduran upaya kesetaraan di tengah tantangan struktural dan sosial yang terus menghambat perempuan, terutama dari kalangan rentan.

Veronica menyoroti bahwa di banyak wilayah, terutama pedesaan, perempuan sering tidak dilibatkan dalam musyawarah pembangunan desa (Musrenbang). Padahal, kebutuhan dasar mereka seringkali tidak terpenuhi karena tidak adanya ruang partisipasi.

“Ternyata yang datang ke Musrenbang hanya bapak-bapak. Ibu-ibu yang tahu kondisi riil seperti tidak ada air, jalan rusak, malah tidak dilibatkan. Bagaimana kita mau bahas kesetaraan gender kalau solusi kecil saja tidak bisa diberikan?” ujarnya.

Ia menegaskan, ketidakterlibatan perempuan dalam perencanaan pembangunan justru memperpanjang siklus kemiskinan, terutama dalam keluarga berpenghasilan rendah. Hal ini berujung pada masalah serius seperti perkawinan anak, ketiadaan perencanaan keluarga, dan lemahnya akses terhadap pendidikan dan kesehatan.

Veronica juga menyebut dalam pidatonya, partisipasi perempuan Indonesia dalam berbagai sektor strategis masih tergolong rendah. Hanya 27% perempuan yang bekerja di sektor teknologi, sementara akademisi perempuan di institut teknologi baru mencapai 35,7%, dan jumlah perempuan yang menempuh studi spesialis kedokteran hanya 41,6%. Di ranah politik, keterwakilan perempuan pun masih minim, yakni hanya 22,14%.

Tak hanya menghadapi ketimpangan akses dan partisipasi, perempuan di Indonesia juga masih rentan menjadi korban kekerasan berbasis gender. Berdasarkan data Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024, 1 dari 4 perempuan Indonesia mengalami kekerasan fisik atau seksual sepanjang hidupnya.

“Fenomena ini menegaskan perlunya langkah konkret dalam pencegahan kekerasan berbasis gender," ungkapnya dalam pidato tersebut.

Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Dwi Yuliawati dari UN Women Indonesia yang menyatakan bahwa norma sosial yang stagnan menjadi penghambat utama kesetaraan gender. Jika tidak ada percepatan aksi, diperkirakan dunia baru akan mencapai kesetaraan gender dalam 137 tahun ke depan.

Diskusi ini juga menyorot tentang pemotongan anggaran pemerintah berdampak besar pada komunitas advokasi. Nissi Taruli dari Feminis Themis menyoroti pemangkasan dana Komisi Nasional Disabilitas menjadi Rp3 miliar, yang memperparah keterbatasan akses bagi perempuan dengan disabilitas, terutama Tuli.

Di sisi lain, Hope Helps, jaringan layanan tanggap kekerasan seksual di kampus, menghadapi tantangan serupa. “Kami harus memaksimalkan dukungan dari psikolog dan pengacara pro bono serta mencari pendanaan dari grants agar tetap dapat mendampingi korban,” jelas perwakilannya.

Isu kekerasan berbasis gender (KBG) juga menjadi perhatian utama. Ally dari Jakarta Feminist menekankan pentingnya pengakuan negara terhadap femisida sebagai bentuk kekerasan ekstrem terhadap perempuan. Ia mendorong pendidikan anti-kekerasan masuk dalam kurikulum nasional.

Masalah kesehatan mental juga dibahas, di mana Intan PS dari Remisi menyoroti stigma terhadap laki-laki dalam mencari bantuan kesehatan mental, yang turut berkontribusi pada tingginya angka bunuh diri di kalangan pria.

Selain itu, Jung Nurshabah Natsir dari Muslimah Reformis mengkritik penafsiran agama yang masih bias gender, menghambat perempuan untuk berperan aktif di luar ranah domestik dan lebih kritis dalam menilai segala sesuatu.

“Masyarakat belum bisa membedakan kodrat dan peran perempuan karena rendahnya pemahaman nilai agama,” jelasnya.

Dari sektor swasta, Unilever Indonesia menegaskan komitmennya terhadap DEI (Diversity, Equity, Inclusion). Kristy Nelwan, Head of Communication Unilever, menjelaskan bahwa perusahaan menyediakan cuti hamil dan ayah, jam kerja fleksibel, dan fasilitas pengasuhan untuk mendukung karyawan.

Sejalan dengan Kristy yang berkiprah di swasta, IBCWE juga menekankan pentingnya mengubah ekosistem kerja agar perempuan bisa berkarier tanpa harus memilih antara pekerjaan dan keluarga. “Kita butuh ruang kerja aman, bebas candaan seksis, dan kepemimpinan yang sensitif gender,” kata Wita Kristanti, Direktur Eksekutif IBCWE.

Kesetaraan gender bukan hanya soal keadilan, tetapi fondasi penting untuk membangun masyarakat yang inklusif dan berkelanjutan. Pesan yang disampaikan Veronica Tan dan seluruh peserta dalam diskusi ini menegaskan bahwa aksi nyata tidak bisa lagi ditunda. Perubahan tidak akan terjadi tanpa kolaborasi lintas sektor, komitmen dari para pemimpin, dan keberanian untuk mengubah norma sosial yang sudah usang. Hanya dengan mempercepat langkah hari ini, Indonesia dapat memastikan masa depan yang setara dan bermartabat bagi seluruh warganya, tanpa terkecuali.

Pilihan Editor: 

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |