JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM — Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Sukamta mendesak pemerintah agar mempercepat penyusunan aturan pelaksana Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). Desakan ini mencuat menyusul pernyataan bersama antara Indonesia dan Amerika Serikat dalam perjanjian perdagangan resiprokal yang mencantumkan komitmen transfer data pribadi lintas negara.
Dalam dokumen kesepakatan bilateral yang dirilis Gedung Putih pada 22 Juli 2025, disebutkan bahwa Indonesia akan memberikan kepastian hukum terkait transfer data pribadi ke AS. Hal ini memicu perhatian sejumlah pihak, termasuk Sukamta yang mengingatkan pentingnya aturan turunan UU PDP segera difinalisasi, termasuk pembentukan lembaga pelindung data.
“Ini juga menjadi momentum bagi Indonesia untuk segera menyelesaikan penyusunan aturan-aturan turunan dari UU PDP seperti Peraturan Pemerintah (PP) PDP dan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pembentukan Lembaga PDP,” ujar Sukamta dalam keterangannya, Jumat (25/7/2025).
Ia menyoroti bahwa lembaga penyelenggara pelindungan data pribadi sebagaimana diamanatkan Pasal 58 UU PDP seharusnya sudah terbentuk sejak Oktober 2024. Pasal 60 undang-undang itu memberikan 15 kewenangan penting kepada lembaga tersebut, termasuk fungsi pengawasan, penegakan administratif, hingga kerja sama dengan penegak hukum.
Di sisi lain, Sukamta juga menekankan pentingnya pengendalian transfer data secara ketat. Dalam Pasal 56 disebutkan bahwa negara tujuan transfer harus memiliki sistem perlindungan data yang setara atau lebih baik dari Indonesia. “Setiap transfer data ke AS harus disertai syarat yang setara seperti perlindungan hukum timbal balik, termasuk hak audit bagi otoritas Indonesia, dan kontrol penuh atas data strategis warga negara,” tegasnya.
Jika negara penerima tidak memiliki perlindungan yang sepadan, lanjut Sukamta, maka pengendali data wajib memastikan adanya mekanisme yang mengikat atau memperoleh izin dari subjek data sebelum transfer dilakukan.
Kekhawatiran serupa juga diutarakan sejumlah pegiat digital dan lembaga advokasi hak-hak sipil. Direktur Eksekutif SAFEnet, Nenden Sekar Arum, menilai Amerika Serikat belum memiliki regulasi menyeluruh di level nasional terkait perlindungan data, berbeda dengan GDPR di Uni Eropa. Kondisi ini membuka peluang penyalahgunaan data yang dikirimkan.
“Jadi mungkin data yang ditransfer bisa digunakan untuk pengawasan massal, profiling politik, diskriminasi, atau eksploitasi komersial,” ujar Nenden, Kamis (24/7/2025). Ia menambahkan bahwa dalam konteks geopolitik, data bahkan bisa digunakan sebagai alat tekanan ekonomi maupun diplomatik.
Pemerintah melalui Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, memastikan bahwa proses pengiriman data tetap berada dalam koridor hukum Indonesia. Menurutnya, kesepakatan Presiden RI Prabowo Subianto dan Presiden AS Donald J. Trump bukan soal penyerahan data secara sembarangan.
“Melainkan menjadi pijakan hukum yang sah, aman, dan terukur dalam tata kelola lalu lintas data pribadi lintas negara,” katanya dalam keterangan tertulis, Kamis (24/7/2025). Ia menyebut transfer data harus mengacu pada prinsip adequate data protection under Indonesia’s law.
Namun, jaminan itu belum cukup bagi sejumlah kalangan. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan PurpleCode Collective menilai langkah pemerintah berisiko tinggi dan melanggar prinsip privasi. Pengacara Publik LBH Pers, Gema Gita Persada, menyatakan bahwa data pribadi bukanlah objek dagang.
“Alih-alih melindungi data pribadi sebagai bentuk jaminan hak atas privasi, pemerintah justru menjadikannya komoditas atau alat tukar dalam bisnis,” ujar Gema, Kamis (24/7/2025). Ia menilai lemahnya perlindungan data di AS membuka celah pelanggaran oleh perusahaan teknologi besar yang selama ini dikenal memiliki rekam jejak pengawasan massal.
Ketua DPR RI, Puan Maharani, pun meminta pemerintah berhati-hati dan memastikan semua data pribadi warga benar-benar terlindungi. “Pemerintah harus menjelaskan apakah data pribadi itu terlindungi dan sampai mana batasnya,” kata Puan.
Penekanan juga diberikan Sukamta agar tim negosiator Indonesia memahami dimensi strategis dari persoalan ini. “Ini menyangkut kedaulatan digital, keamanan nasional, dan keadilan ekonomi,” tandasnya. (*) Berbagai sumber
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.