33 Tahun Jepang Minta Maaf Kasus Jugun Ianfu ke Korea Selatan, Bagaimana Kilas Baliknya

14 hours ago 6

TEMPO.CO, Jakarta - Pada 13 Januari 1992, Jepang meminta maaf karena memaksa wanita Korea Selatan menjadi budak seks pada masa Perang Dunia II. Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri Jepang saat Itu, Miyazawa, berkunjung ke Korea Selatan. 

Saat Miyazawa berkunjung, pihak Korea Selatan getol mengungkit-ungkit kembali soal 36 tahun penjajahan Jepang atas Korea. Pada awal Januari 1992, 35 orang dari 15 ribu anggota Perhimpunan Korban Perang Pasifik Korea Selatan, menggugat pemerintah Jepang di pengadilan daerah Tokyo. Mereka menuntut kompensasi sebesar 700 juta yen untuk 35 orang itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam gugatan setebal 130 halaman itu, ada pengakuan tiga wanita yang dipaksa menjadi jugun ianfu alias "pelacur khusus untuk tentara Jepang". Untuk itu, mereka dibawa sampai ke Cina dan bahkan Rabaul, pangkalan militer di Papua Nugini sekarang. Pada waktu itu, wanita-wanita itu berusia antara 15 dan 18 tahun.

Kim Hak-sun, 67 tahun, salah satu dari ketiga wanita itu, mengatakan dalam sebuah konperensi pers, ketika ia berusia 17 tahun ditipu tentara Jepang dan dibawa dari Pyongyang ke Cina Utara sebagai jugun ianfu. Ia dipaksa melayani 300 tentara, dan diancam akan dibunuh kalau berani kabur. Ia a berhasil lari, kawin dengan seorang pedagang, dan usai perang kembali ke Korea.

Pada mulanya pemerintah Jepang bersikap masa bodoh terhadap tuntutan itu. Tapi, harian Asahi Shinbun membuktikan adanya dokumen keterlibatan pemerintah Jepang dengan urusan ianfu. Menurut dokumen itu, paling tidak ada sekitar 80-200 ribu wanita Korea yang dipaksa melakukan pekerjaan terkutuk itu.

Sejumlah dokumen historis yang ditemukan dan diungkap pada 1990-an menunjukkan bahwa otoritas militer Jepang saat itu memang bekerja sama dengan orang-orang yang memaksa perempuan bekerja di rumah bordil atau kamp pemerkosaan. Nobutaka Shikanai, salah satu pegawai akuntan di militer Jepang selama masa perang, mengakui peran pemerintah dalam jaringan perdagangan budak seks.

"Saat merekrut para perempuan, kami harus memastikan daya tahan mereka, seberapa lama mereka bisa digunakan, dan apakah mereka bekerja dengan baik," ujar Shinkanai dalam buku memoarnya yang bertajuk The Secret History of the War.

Shinkanai, yang kemudian memimpin harian paling konservatif di Jepang, Sankei Shimbun, juga menyebutkan mereka menghitung dengan detail alokasi waktu bagi tiap jajaran militer saat menggunakan para budak seks. "Kami juga memiliki harga tetap (untuk menyewa budak seks) berdasarkan pangkat militer."

Pada 1994, Jepang memberikan sejumlah bantuan kompensasi kepada beberapa negara melalui lembaga Asian Women's Fund sebagai sinyal permohonan maaf terhadap para budak seks. Sebanyak 61 bekas budak seks asal Korea menerima dana ini, meski sebagian besar menolak karena dana yang digunakan bukan dari pemerintah, melainkan dari donor swasta.

Dua hari sebelum Miyazawa bertolak ke Korea Selatan, dalam jumpa pers dengan para wartawan Korea Selatan, ia mengakui skandal itu. Dan, di Seoul, selain minta maaf dari lubuk hati terdalam, ia juga mengatakan akan melaksanakan keputusan pengadilan atas gugatan bangsa Korea. 

Pada November 2015, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dan Presiden Korea Selatan Park Geun-hye menyepakati penawaran permintaan maaf Jepang senilai 1 miliar yen atau sekitar Rp 114,6 miliar. Duit ini berasal dari anggaran negara, sebagai bentuk pengakuan Jepang atas kejahatan kemanusiaan terhadap korban perbudakan seks tentara Jepang di Korea Selatan.

Sita Planasari berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |