TEMPO.CO, Jakarta - Ketegangan yang telah meningkat antara dua Korea dalam beberapa bulan terakhir memasuki fase baru setelah Korea Utara meledakkan sebagian dari dua jalur yang menghubungkan negara tersebut dengan Korea Selatan pada Selasa, 15 Oktober 2024.
Keesokan harinya, Korut mengklaim bahwa setidaknya 1,4 juta pemuda telah mendaftarkan diri sebagai tentara, baik sebagai rekrutan baru maupun mereka yang menyatakan kembali bergabung. Tindakan ini diambil oleh negara komunis tersebut setelah menuduh Korea Selatan mengirimkan selebaran propaganda ke Pyongyang menggunakan drone. Korut menganggap penggunaan drone tersebut sebagai provokasi yang dapat mengarah pada "konflik bersenjata, bahkan perang."
Pyongyang kemudian memerintahkan pasukan perbatasan untuk bersiap melancarkan serangan, sementara Korsel menanggapi dengan menyatakan kesiapan untuk membalas. Seoul bahkan memperingatkan bahwa jika keselamatannya terancam, itu akan menjadi "akhir dari rezim Korea Utara." Pertikaian terbaru ini mencerminkan meningkatnya ketegangan antara kedua Korea, yang berada pada titik terburuk dalam beberapa tahun terakhir, dimulai dari pernyataan pemimpin Korut, Kim Jong-un, pada bulan Januari yang menyebut Korsel sebagai musuh nomor satu rezimnya.
Konflik antara Korea Selatan dan Korea Utara bukanlah hal baru, kedua negara memiliki sejarah panjang terkait perpecahan semenanjung Korea. Sebelumnya, Korea merupakan satu entitas politik yang menguasai wilayah semenanjung dan sekitarnya selama berabad-abad. Perpecahan ini dimulai setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II pada tahun 1945, ketika dua negara pemenang superpower, yaitu Sekutu dan Uni Soviet, membagi kekuasaan atas Semenanjung Korea.
Pada 25 Juni 1950, Korea Utara yang didukung oleh Cina dan Uni Soviet menyerang Korea Selatan, yang didukung oleh Amerika Serikat. Dewan Keamanan PBB, yang baru saja dibentuk, mengerahkan 21 negara untuk menghentikan invasi tersebut, dengan 90 persen pasukannya berasal dari AS. Perang berlangsung selama tiga tahun, menewaskan jutaan orang, termasuk ratusan ribu tentara di kedua belah pihak. Kementerian Pertahanan Seoul mencatat 520.000 korban jiwa dari Korea Utara, serta 137.000 tentara Korea Selatan dan 37.000 tentara AS.
Perang berakhir pada 27 Juli 1953 dengan Kesepakatan Gencatan Senjata yang diprakarsai oleh Kim Il Sung, pendiri Korea Utara. Kesepakatan ini termasuk pembentukan Zona Demiliterisasi (DMZ) untuk memisahkan kedua Korea dan mengizinkan kembalinya tahanan. Namun, tidak ada perjanjian perdamaian yang ditandatangani, sehingga secara resmi perang antara kedua negara belum berakhir.
Semenanjung Korea kini terbagi menjadi dua bagian yang dipisahkan oleh DMZ, yang mengikuti garis paralel ke-38 berdasarkan persetujuan PBB. Setelah Perang Dunia II, Amerika Serikat menguasai wilayah selatan dan Uni Soviet menguasai wilayah utara, masing-masing berupaya mempersiapkan kemerdekaan. Wilayah selatan membentuk pemerintahan yang berpusat di Seoul, dipimpin oleh Syngman Rhee, sementara wilayah utara membentuk sistem komunis di bawah kepemimpinan Kim Il Sung, yang berpusat di Pyongyang.
Hingga saat ini, belum ada perjanjian damai antara kedua belah pihak; mereka hanya sepakat untuk menghentikan permusuhan melalui gencatan senjata. Hingga kini Amerika Serikat masih menempatkan sekitar 28.500 tentara di Korea Selatan sebagai bagian dari "pasukan perlindungan." Sementara itu, Korea Utara mengklaim memiliki "angkatan bersenjata terbesar di dunia" dan menempatkan pasukan serta persenjataan dekat DMZ, sambil terus mengembangkan senjata nuklir dan sistem rudal jarak jauh.
SHARISYA KUSUMA RAHMANDA | BBC | DW | YOLANDA AGNE
Pilihan Editor: AS Mengaku Punya Bukti Korea Utara Kirim 3.000 Tentara Bela Rusia di Ukraina