TEMPO.CO, Jakarta - Seorang anak berusia 12 tahun menjadi korban pelecehan seksual di ranah digital. Rekan kerja sang ibu diduga memanipulasi foto anak itu dengan aplikasi kecerdasan buatan generatif atau generative artificial intelligence (AI) dan menciptakan gambar yang tak senonoh.
Ibu korban, RMD, mengungkapkan dugaan pelecehan ini di media sosial usai sang pelaku mengirimkan foto vulgar itu kepadanya pada 30 Oktober lalu. Dirinya dan sang anak tengah melakukan sesi konseling ketika ponselnya menerima pesan masuk dari seorang rekan kerja berinisial EA.
“Foto pertama yang terpampang itu foto anak saya, wajahnya wajah anak saya, sudah dengan pose tanpa busana,” tutur RMD kepada Tempo melalui sambungan telepon pada Selasa, 5 November 2024. Ia mengaku kaget dan sempat membeku saat melihat foto anaknya dimanipulasi secara digital.
Melalui pesan WhatsApp itu, EA menuliskan bahwa foto itu adalah RMD saat remaja. “Foto itu diberi caption, ‘wow ini kamu kalau usia 17 tahun’,” ucap RMD menirukan pesan EA.
Dia membalas pesan tersebut dan mengatakan bahwa hal yang dilakukan EA keterlaluan. “Ini sudah di luar batas dan ini tidak dapat dibenarkan,” katanya.
Mulanya EA mengelak. Ia mengatakan foto itu bukan foto anak korban. EA menyebut bahwa ia menggunakan foto RMD untuk diubah di aplikasi generative AI itu. Namun, RMD yakin bahwa wajah dalam gambar tersebut ialah milik anaknya.
“Saya tahu foto apa yang dia gunakan karena mimik wajahnya itu persis seperti foto yang saya ambil ketika saya berlibur dengan anak saya,” ujar RMD.
Dalam pekerjaannya sebagai fotografer, RMD menyebut dirinya tak asing dengan penyimpanan gambar secara otomatis di Internet cloud. Menurutnya, foto-foto hasil manipulasi AI seperti milik anaknya ini bisa langsung tersimpan di ruang penyimpanan di Internet.
“Cloud itu kan database ya, ketika kita sudah mengunggah sesuatu itu akan tersimpan,” kata RMD. “Apalagi AI itu kan belajar dari apa yang masuk ke database mereka.” Ia pun khawatir gambar hasil manipulasi ini akan tersimpan dan bisa diakses orang lain.
Iklan
“Bagaimana kalau ada orang membuat prompt yang spesifik, kemudian foto ini keluar?” tanyanya.
Atas keresahannya ini, RMD pun melapor ke Kepolisian Resor Jakarta Selatan pada Jumat, 1 November 2024. Namun, kepolisian mengatakan belum bisa memproses laporan itu.
Menurut RMD, dua unit di polres itu memiliki pendapat yang berbeda. Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Jakarta Selatan menyampaikan bahwa tidak ada pasal tentang pelecehan yang bisa dipakai untuk menindaklanjuti kasus ini, terutama karena tak ada kontak fisik antara anak korban dengan EA.
Sementara itu, Unit Kriminal Khusus (Krimsus) menyebut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bisa dipakai untuk menjerat pelaku.
Perbedaan pendapat antara kedua unit itu membingungkan RMD sebagai pelapor. Bahkan, ia pun tak berhasil mengisi formulir laporan di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) karena belum jelas pasal apa yang bisa dilaporkan.
Tempo telah melakukan upaya konfirmasi kepada Polres Jakarta Selatan melalui Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Polres Metro Jakarta Selatan, AKP Nurma Dewi. Namun, hingga berita ini ditulis, Nurma belum memberikan respons.
Pilihan Editor: Tom Lembong: Kejanggalan Data Surplus Gula hingga Penjelasan Soal LHKPN