Analisis Pemimpin Ulul Albab dalam Lensa Bordieu

1 hour ago 7

Oleh : Achmad Tshofawie; Kordinator ECOFITRAH, keluarga ICMI dan FKPPI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pierre Bourdieu bukan mufassir, bukan sufi, bukan ulama. Ia adalah sosiolog Perancis yang terkenal dengan alat analisis sosial. Diantaranya habitus, modal (sosial, kultural, simbolik, ekonomi), field (arena kekuasaan), dan symbolic violence (kekerasan simbolik).

Menariknya, empat konsep itu sangat bernilai untuk membaca apa perbedaan pemimpin Ulul Albab dengan pemimpin zalim. Ulul Albab bukan sekadar cerdas, tapi memiliki struktur batin dan perilaku sosial yang lurus, yang dalam bahasa Bourdieu disebut habitus mulia.

Habitus: Pondasi Psikologis Spiritual dari Ulul Albab

Menurut Bourdieu, habitus adalah "sistem disposisi", kecenderungan batin yang terbentuk lama, yang membuat seseorang bertindak spontan tanpa berpikir lama. Alquran menyatakan, Ulul Albab adalah mereka yang berdzikir, berfikir, menghayati tanda-tanda Allah, merendah di hadapan kebenaran.

Habitus Ulul Albab adalah: ketundukan kepada kebenaran dan kecenderungan moral untuk selalu memilih jalan takwa, bukan insting kekuasaan.

Sebaliknya, habitus pemimpin zalim berisi: narsisme, kerakusan simbolik, penyembahan status, obsesi menunjukkan kekuasaan. Ulul Albab menata diri dari dalam; pemimpin zalim menata pencitraan dari luar.

Modal: Apa yang Dipegang Pemimpin Ulul Albab?

Bourdieu menjelaskan bahwa kekuasaan tidak hanya lahir dari uang (modal ekonomi), tetapi juga dari modal kultural,yaitu:ilmu,hikmah, kecakapan memimpin.

Ulul Albab tajam membaca realitas, siap mengakui kesalahan, berani mengambil keputusan moral.

Kemudian modal sosial (jaringan kepercayaan) Ulul Albab adalah dicintai rakyat karena integritasnya,bukan karena manipulasi. Modal simbolik (kehormatan, legitimasi moral) Ulul Albab adalah legitimasinya dari akhlak, bukan dari propaganda.

Modal ekonomi (sumber daya untuk mensejahterakan) dari Ulul Albab adalah mengelola harta sebagai amanah, bukan alat mengendalikan orang.

Ringkasnya,Ulul Albab tidak menjadikan modal sebagai alat menindas, tetapi sebagai wasilah untuk menegakkan keadilan.

Field: Arena Kekuasaan sebagai Ujian Moral

Menurut Bourdieu, setiap ruang sosial adalah field: tempat orang bertarung mempertahankan modal. Dalam politik, yang licik menang melalui intrik, yang narsistik tampil lewat pencitraan, yang Machiavellian menghalalkan cara.

Namun Ulul Albab tidak bermain dengan logika field yang kotor. Ia mereformasi field, bukan sekadar bertarung di dalamnya.

Contoh paling kuat: Umar bin Abdul Aziz. Ia tidak tunduk pada logika korup dinasti Umayyah sebelumnya. Ia mengubah struktur arena:memutus anggaran mewah keluarga, mengembalikan tanah rampasan, menghapus pajak zalim, upaya pemerataan kesejahteraan,membersihkan birokrasi. Dalam bahasa Bourdieu: Umar bin Abdul Aziz mengubah “aturan permainan” field dari logika dominasi menjadi logika amanah.

Kekerasan Simbolik vs Keteladanan Simbolik

Pemimpin zalim memakai symbolic violence: propaganda moral, slogan palsu,pencitraan populis, manipulasi istilah “rakyat” dan "demokrasi".Semua itu menipu masyarakat secara halus.

Sementara Ulul Albab memiliki symbolic legitimacy: kejujuran, kesederhanaan, konsistensi. Kekuatannya bukan menipu, tetapi menggetarkan nurani. Citra Ulul Albab tidak dibuat oleh tim kreatif, tapi muncul spontan dari cahaya akhlaknya.

Maka pemimpin Ulul Albab menurut sudut pandang Bourdieu, profilnya sebagai berikut:

Pertama,habitusnya hikmah, artinya setiap keputusan lahir dari ketenangan, bukan ambisi.

Kedua, modal simbolik yang bersih. Ia tidak membeli legitimasi; ia mendapatkannya.

Ketiga, modal sosial dari kepercayaan publik; bukan kawan oportunis, tapi jaringan etik.

Keempat, struktur kehidupan sederhana; bukan hanya gaya hidup, tetapi struktur batin.

Kelima, kekuasaan sebagai amanah, bukan kapital. Ia tidak memaknai kekuasaan sebagai capital to accumulate, tetapi sebagai beban yang harus dipertanggung jawabkan.

Ketujuh, kebijakan berparadigma rahmah. Tidak menghukum demi citra, tidak mengancam demi ketakutan.

Kedelapan, antikekerasan simbolik. Tidak mempropagandakan pencitraan, tidak memanipulasi istilah.

Kesembilan, mengubah field, bukan larut di dalamnya. Ia bukan aktor oportunis.Ia arsitek transformasi.

Kesepuluh, menyambung tradisi para khalifah yang adil. Pemimpin Ulul Albab menjadi mata rantai sejarah kebenaran.

Kesimpulan

Jika Bourdieu diminta menjelaskan pemimpin Ulul Albab, ia akan berkata kira-kira begini: “Ia memiliki habitus yang membentuk pilihan moral yang stabil; modal simbolik yang lahir dari integritas; modal sosial dari kepercayaan; dan kekuasaan yang ia gunakan bukan sebagai alat dominasi, tetapi sebagai arena pembebasan.”

Sementara Alquran menegaskan:

"Sesungguhnya dalam hal itu terdapat tanda-tanda bagi Ulul Albab". (QS 3:190).

Bourdieu membaca masyarakat dari sisi ilmu sosial,dan Ulul Albab membaca realitas dengan cahaya wahyu. Keduanya bertemu di satu titik: kekuasaan yang beradab lahir dari jiwa yang bersih; kekuasaan yang tiranik lahir dari jiwa yang kotor.

Harapan sekarang dan kedepan,para pemimpin yang sedang mengemban amanah mengambil hikmah dari nilai-nilai kepemimpinan Ulil Albab ini. Demikian pula calon para pemimpin kedepan. Jika bangsa sudah memiliki potensi ini, Insyaa Allah terjadi akselerasi terwujudnya negeri yang maju, kuat, disegani, sejahtera, dan diberkahi.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |