TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald J. Trump mengumumkan penghentian sementara tarif impor global yang lebih tinggi ke berbagai negara atau resiprokal selama 90 hari kedepan pada Rabu, 9 April. Namun, Trump mengecualikan Cina dari penangguhan tarif Trump bahkan menaikkannya lebih jauh hingga 125 persen.
Sebelumnya, dikutip dari Antara pada Februari 2025 lalu Trump mengenakan tarif 10 persen kepada semua barang impor dari Cina tanpa pengecualian karena menilai keterlibatan Cina membantu imigrasi illegal dan penyelundupan fentanil ke AS. Kemudian pada Maret 2025, Trump mengenakan tarif 20 persen ke semua barang dari Cina engan alasan yang sama. Pada 2 April, Trump mengumumkan tarif universal senilai 10 persen ke barang impor semua negara dan tarif timbal balik atau resiprokal ke berbagai negara termasuk Cina yang dikenai tarif 34 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Atas tarif Trump, pada 4 April 2025 Cina mengumumkan pengenaan tarif tambahan sebesar 34 persen juga atas barang-barang dari AS yang masuk ke Cina berlaku pada 10 April 2025. Pemerintah Cina menegaskan bahwa kebijakan tersebut sesuai dengan hukum domestik dan prinsip hukum internasional.
Merespon pengenaan tarif balasan dari Cina ke produk AS, Donald Trump dalam media sosial pribadinya di X mengancam bahwa AS akan mengenakan tarif tambahan sebesar 50 persen terhadap China mulai 9 April 2025 jika China tidak menarik tambahan tarif sebesar 34 persen paling lambat Selasa 8 April. Hal ini akan menjadikan tarif bea masuk produk Cina ke AS mencapai 104 persen.
Juru Bicara Kementrian Luar Negeri (Kemenlu) Cina, Lin Jian dalam konferensi pers di Beijing pada Selasa, 8 April menyampaikan Pemerintah Cina tidak gentar dengan ancaman Presiden AS Donald Trump.
"Kami tidak akan menoleransi segala upaya untuk merugikan kedaulatan, keamanan, dan kepentingan pembangunan China. Kami akan terus mengambil tindakan tegas dan kuat untuk melindungi hak dan kepentingan sah kami," kata Lin dikutip dari Antara.
Kementrian Perdagangan Cina, mengatakan akan menanggapi dengan tegas hingga akhir atas tindakan tarif timbal balik oleh AS. “Jika AS terus melakukan tindakan gegabah ini, China akan menanggapi dengan tegas hingga akhir,”.
Setelah respon dari Pemerintahan Cina, Trump mengumumkan kebijakan tarif terbarunya pada Rabu, 9 April 2025 waktu setempat, melalui unggahan di platform Truth Social.
"Berdasarkan kurangnya rasa hormat yang ditunjukkan Cina terhadap pasar dunia, saya dengan ini menaikkan tarif yang dikenakan Amerika Serikat terhadap Cina menjadi 125 persen, berlaku segera," tulis Trump.
Dilansir dari NPR, Juru Bicara Kemenlu Cina Lin Jian menyatakan Tiongkok siap untuk terus bertempur pada konferensi pers Kamis, 10 April 2025.
"Saya ingin menekankan bahwa perang tarif dan perang dagang tidak memiliki pemenang. Tiongkok tidak ingin melawannya, tetapi tidak akan takut jika hal itu terjadi," ujar Lin
Namun, Lin juga mengisyaratkan kesediaan Cina berunding hanya jika pemerintah AS mengubah sikapnya.
"Jika AS benar-benar ingin berdialog, mereka harus menunjukkan sikap kesetaraan, rasa hormat, dan saling menguntungkan," kata Lin.
Melihat saling balas tarif antara Cina dan AS, para analis mengatakan tarif yang lebih tinggi diberlakukan Trump atas Cina akan sangat berdampak pada perekonomian negara.
Analis T. Rowe Price, Wenli Zheng, mengatakan dalam sebuah catatan penelitian bahwa di salah satu pasar saham utama Tiongkok, bisnis Tiongkok memiliki "paparan pendapatan yang sangat rendah terhadap AS" dikutip dari NPR.
Dibandingkan konflik dagang sebelum-sebelumnya, eskalasi perang tarif 2025 dinilai lebih agresif dan berisiko menimbulkan dampak jangka panjang terhadap perekonomian global. Sejumlah analis memperkirakan inflasi global akan meningkat, harga barang naik, dan pertumbuhan ekonomi dunia melambat jika ketegangan terus berlanjut. Melihat potensi dan efek dari perang tarif, banyak investor lebih suka melihat perang dagang yang meledak-ledak antara dua ekonomi terbesar dunia ini berakhir.
Rehan Oktra Halim berkontribusi dalam artikel ini.
Pilihan editor: Gejolak Pasar Modal IHSG