TEMPO.CO, Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan signifikan pada penutupan sesi pertama perdagangan, Selasa, 18 Maret 2025. Bursa Efek Indonesia (BEI) menghentikan perdagangan sementara waktu (trading halt) selama 30 menit setelah IHSG turun lebih dari 5 persen, sebelum akhirnya ditutup di level 6.076, mengalami penurunan sebesar 6,11 persen.
Kebijakan tenggat waktu trading halt tersebut diatur dalam Surat Keputusan Direksi PT BEI Nomor: Kep-00024/BEI/03-2020 tentang Perubahan Panduan Penanganan Kelangsungan Perdagangan di Bursa Efek Indonesia dalam Kondisi Darurat, yang diberlakukan sejak 10 Maret 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa itu Trading Halt
Trading halt adalah penghentian sementara perdagangan saham atau instrumen keuangan lainnya di bursa efek. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan waktu bagi investor untuk mencerna informasi penting dan menghindari kepanikan yang dapat menyebabkan aksi jual masif. Selain itu, keputusan trading halt diberlakukan agar nilai perdagangan saham tidak semakin anjlok. Kebijakan ini telah pernah diterapkan di berbagai bursa saham dunia, termasuk Amerika Serikat, Korea Selatan, Jepang, dan Cina.
Aturan Trading Halt
Berdasarkan aturan yang disahkan pada 10 Maret 2020 tersebut, trading halt dibagi menjadi tiga tahapan. Pertama, trading halt dalam 30 menit. Jika IHSG turun lebih dari 5 persen dalam satu sesi perdagangan, BEI akan menghentikan perdagangan selama 30 menit. Ini memberikan waktu bagi investor untuk mencerna situasi pasar, seperti yang terjadi baru-baru ini.
Kedua, penambahan 30 menit penghentian perdagangan sementara waktu. Ini berlaku jika dilihat dari IHSG turun menjadi 10 persen, guna mencegah aksi jual yang semakin besar. Terakhir, jika IHSG terus melemah hingga lebih dari 15 persen, BEI dapat menghentikan perdagangan atau trading suspend hingga akhir sesi perdagangan atau lebih lama dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ini adalah langkah ekstrem untuk menstabilkan pasar secara menyeluruh.
Penyebab IHSG Menurun Tajam
Dikutip dari Antara, penurunan tajam IHSG disebabkan oleh kombinasi faktor domestik dan global. Direktur Utama BEI Iman Rachman menyatakan bahwa volatilitas IHSG lebih dipengaruhi oleh kondisi global, seperti kebijakan tarif AS yang berdampak negatif pada negara berkembang, termasuk Indonesia.
Ketidakpastian ekonomi global, kebijakan moneter ketat dari bank sentral, dan kondisi geopolitik yang tidak stabil juga menjadi tekanan eksternal. Di sisi domestik, kebijakan ekonomi yang kontroversial menambah kekhawatiran investor terhadap stabilitas ekonomi Indonesia.
Pernyataan Presiden Prabowo yang menyebut saham sebagai perjudian memicu reaksi negatif di pasar, karena kepercayaan investor sangat penting untuk pasar modal. Selain itu, penghapusan pencatatan utang dan kebijakan terkait utang UMKM menambah kekhawatiran tentang kesehatan keuangan perbankan.
Rencana pembentukan 80.000 koperasi desa dengan pendanaan dari bank BUMN juga menimbulkan risiko kredit macet. Semua faktor ini berkontribusi pada aksi jual besar-besaran di sektor perbankan dan penurunan tajam saham-saham unggulan, yang berdampak domino ke sektor lainnya seperti teknologi dan properti.
Catatan Kebijakan Trading Halt di Indonesia
Penerapan trading halt di Indonesia pernah terjadi beberapa kali, terutama saat kondisi pasar sangat volatile. Misalnya, pada Maret 2020, saat pandemi Covid-19 mulai melanda, trading halt diberlakukan berkali-kali akibat penurunan IHSG yang tajam.
Selain itu, keputusan trading halt juga pernah diambil oleh pemerintah Indonesia dalam menyikapi krisis finansial pada 1998 dan krisis subprime mortgage 2008. Kejadian terbaru terjadi pada 18 Maret 2025, ketika IHSG anjlok lebih dari 5 persen dan memicu penghentian perdagangan.
Dalam jangka pendek, pemerintah dan otoritas keuangan perlu meningkatkan komunikasi dan menjelaskan kebijakan ekonomi yang ada. Untuk memulihkan kepercayaan investor, penting untuk menunjukkan komitmen terhadap stabilitas ekonomi serta transparansi dalam kebijakan fiskal dan moneter. Selain itu, Bank Indonesia dan OJK harus menjaga likuiditas pasar agar tekanan jual yang berlebihan dapat diminimalkan.
Melynda Dwi Puspita berkontribusi dalam penulisan artikel ini.