TEMPO.CO, Jakarta - Nasib perjanjian gencatan senjata Gaza sudah di ujung tanduk. Hamas menuduh Israel melanggar ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut dan memutuskan untuk menunda pembebasan sandera Israel.
Keputusan Hamas ini direspons Israel dengan penuh kemarahan. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan ia akan melanjutkan perang jika lebih banyak tawanan tidak dibebaskan pada Sabtu, Middle East Eye melaporkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Jika Hamas tidak mengembalikan sandera kami pada Sabtu siang – gencatan senjata akan berakhir, dan IDF akan kembali bertempur secara intens sampai Hamas akhirnya dikalahkan," katanya dalam sebuah pidato video pada Selasa, 11 Februari 2025.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump, seorang pendukung setia Netanyahu, makin memperkeruh keadaan. Ia mengatakan Israel harus "membiarkan semua neraka pecah" jika para tawanan tidak dibebaskan pada tenggat waktu Sabtu.
Abu Ubaidah, juru bicara sayap bersenjata Hamas, Brigade Al Qassam, mengatakan bahwa kepemimpinan kelompok itu "memantau pelanggaran musuh dan ketidakpatuhan mereka terhadap ketentuan-ketentuan perjanjian... Sementara itu, pihak perlawanan memenuhi semua kewajibannya".
Apakah Israel telah melanggar gencatan senjata, dan dengan cara apa?
Berlanjutnya serangan mematikan di Gaza
Meskipun secara resmi menghentikan pertempuran, tentara Israel telah berulang kali melancarkan serangan udara dan menembaki warga Palestina sejak gencatan senjata diberlakukan.
Warga Palestina juga melaporkan bahwa mereka sering mendengar suara pesawat tak berawak Israel di angkasa.
Pada Selasa, kementerian kesehatan Gaza mengatakan bahwa 92 orang telah terbunuh dan 822 lainnya terluka oleh tentara Israel sejak dimulainya gencatan senjata.
Hamas mengatakan bahwa selain serangan-serangan tersebut, Israel juga menunda pemulangan warga Palestina yang mengungsi ke Gaza utara, yang merupakan salah satu komitmen utama dari perjanjian gencatan senjata.
Penghalangan bantuan kemanusiaan
Salah satu fokus utama dari tuduhan Hamas adalah bahwa Israel diduga menghalangi aliran bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Berdasarkan perjanjian tersebut, Israel seharusnya mengizinkan 600 truk bantuan untuk masuk ke wilayah kantong Palestina itu setiap hari. Tom Fletcher, pejabat tinggi bantuan PBB, mengatakan pada 6 Februari lalu bahwa 10.000 truk telah memasuki Gaza sejak dimulainya gencatan senjata.
Namun, juru bicara pemerintah kota Gaza mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa dari 600 truk yang seharusnya datang setiap hari, wilayah itu hanya melihat "100 hingga 150 truk".
Kantor media pemerintah Gaza mengatakan bahwa hingga 7 Februari, dari 12.000 truk bantuan yang seharusnya mencapai daerah kantong tersebut, hanya 8.500 truk yang sampai.
Mengutip seorang pejabat yang mengetahui negosiasi gencatan senjata, Reuters mengatakan bahwa "Israel telah menolak permintaan dari PBB, Qatar, dan pihak-pihak lain untuk mengizinkan unit-unit perumahan sementara dibawa ke Gaza untuk menampung para pengungsi seperti yang disyaratkan dalam perjanjian gencatan senjata".
Hamas mengatakan bahwa Israel memblokir masuknya 60.000 rumah mobil dan 200.000 tenda serta alat berat yang digunakan untuk membersihkan reruntuhan. Israel membantah tuduhan tersebut, dan mengatakan bahwa lebih dari 100.000 tenda telah masuk ke Gaza.
Para pengemudi truk di perbatasan Mesir-Gaza mengatakan kepada Reuters bahwa bahan bangunan dan tenda-tenda telah dihalangi untuk masuk sejak dimulainya gencatan senjata. Persediaan medis, pakaian, dan minuman ringan juga dilaporkan tertahan, menunggu untuk masuk ke Gaza setelah pemeriksaan oleh pejabat Israel.
Selain itu, kementerian kesehatan Gaza mengatakan bahwa Israel melarang beberapa orang Palestina yang sakit dan terluka untuk meninggalkan wilayah itu untuk menerima perawatan di luar negeri, seperti yang diinstruksikan dalam perjanjian.
Termasuk yang ditolak adalah seorang pasien kanker berusia 16 tahun, kata kementerian itu.
Setidaknya 24 warga Palestina telah meninggal dunia karena luka-luka mereka sejak dimulainya gencatan senjata, menurut kementerian tersebut. Kantor media pemerintah menambahkan bahwa setidaknya 100 anak telah meninggal karena "penundaan" dari Israel untuk membiarkan mereka pergi berobat.
Kurangnya bahan bakar, panel surya
Sebagai bagian dari penghalang masuknya bantuan kemanusiaan, kantor media pemerintah Gaza mengatakan bahwa hanya 15 truk bahan bakar yang masuk setiap hari untuk menyalakan rumah sakit dan layanan vital lainnya, bukannya 50 truk seperti yang telah disepakati.
Kantor tersebut menuduh Israel juga memblokir pengiriman generator dan suku cadangnya, panel surya dan baterainya, kabel dan tangki air serta bahan-bahan yang dibutuhkan untuk memperbaiki jaringan air dan pembuangan limbah di Gaza utara.
Penundaan pembebasan tahanan
Selama pertukaran tawanan gelombang ketiga, Israel menunda pembebasan tahanan Palestina selama lebih dari enam jam.
Selain itu, sebuah sumber anonim yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa, dalam beberapa kesempatan, beberapa tahanan dipindahkan ke Gaza tanpa persetujuan atau koordinasi sebelumnya.
Israel juga dilaporkan telah menunda merilis daftar nama-nama tahanan yang akan dibebaskan.
Pernyataan-pernyataan Trump dan reaksi Israel
Menyusul rencana Trump yang mengumumkan bahwa AS akan mengambil alih Jalur Gaza dan mengusir warga Palestina ke Mesir dan Yordania, Hamas mengeluarkan beberapa pernyataan yang menolak keras usulan ini.
Para jurnalis dan analis percaya bahwa pernyataan presiden AS tersebut dapat memperumit kelangsungan perjanjian gencatan senjata, karena potensi pendudukan baru di Gaza, bersama dengan pengusiran penduduknya, dapat memicu konflik lebih lanjut.
Para pejabat Israel sebagian besar bereaksi positif terhadap tawaran Trump, dengan Menteri Pertahanan Israel Katz menginstruksikan tentaranya untuk mempersiapkan "kepergian sukarela" warga Palestina.
Netanyahu mengatakan bahwa proposal tersebut "revolusioner, kreatif" dan akan "membuka banyak peluang" bagi Israel.
Pelaksanaan rencana tersebut akan menjadi pelanggaran terhadap fase gencatan senjata di masa depan, yang berfokus pada kembalinya warga Palestina yang terlantar dan rekonstruksi Gaza.
Lebih dari 47.000 warga Palestina tewas akibat perang Israel di Gaza, yang juga menghancurkan sebagian besar infrastruktur sipil di daerah kantong tersebut.
Warga Palestina yang telah berbicara dengan Middle East Eye telah menyatakan tekad mereka untuk tetap tinggal di tanah mereka, dengan tegas menolak rencana apa pun yang akan membuat mereka meninggalkan rumah dan tanah mereka sekali lagi.