Asal-Muasal Sinden, Menelusuri Tradisi dan Perannya dalam Budaya Jawa

1 month ago 34

TEMPO.CO, Jakarta - Profesi sinden kembali menjadi sorotan setelah sebuah video yang menampilkan penceramah Miftah Maulana viral di media sosial. Dalam video lawas diduga tahun 2022 tersebut, Miftah terlihat merendahkan Yati Pesek, seorang pesinden senior yang dihormati, dengan melontarkan kata-kata kasar di atas panggung pergelaran wayang kulit.

Ucapan bernada umpatan disusul kalimat menghina tersebut memicu kecaman luas. Terutama dari komunitas seni tradisional, yang menganggap tindakan tersebut tidak hanya menyerang pribadi Yati Pesek tetapi juga merendahkan profesi sinden secara keseluruhan.

Profesi sinden bukan hanya sekadar hiburan, tetapi merupakan bagian penting dari seni tradisional yang menjadi identitas budaya Jawa. Untuk memahami betapa pentingnya peran sinden, mari melihat lebih dalam sejarah dan evolusi profesi ini.

Arti Sinden

Sinden, atau waranggana, berasal dari istilah Jawa "pasindhian," yang berarti "yang melagukan." Profesi ini merujuk pada wanita yang bernyanyi mengiringi orkestra gamelan dalam berbagai pergelaran seni tradisional, termasuk wayang kulit dan klenengan. Tidak hanya sebagai pengisi acara, sinden memiliki tanggung jawab besar untuk menyampaikan tembang yang mampu menyatu dengan cerita wayang, menciptakan suasana magis, dan menyentuh emosi penonton.

Menurut Ki Mujoko Joko Raharjo, istilah "waranggana" berasal dari dua kata, yaitu "wara" yang berarti wanita dan "anggana" yang berarti sendiri. Hal ini merujuk pada masa ketika seorang sinden adalah satu-satunya wanita yang tampil dalam pergelaran seni tradisional, terutama wayang kulit. Kehadirannya di panggung tidak hanya sebagai pelengkap tetapi juga sebagai elemen utama yang memengaruhi kesuksesan pertunjukan.

Perkembangan Peran Sinden

Pada masa awal, posisi sinden dalam pergelaran wayang sangat sederhana. Mereka duduk di belakang dalang, berdekatan dengan pemain kendhang dan gender. Biasanya, sinden adalah istri dalang atau salah satu anggota keluarga pengrawit. Namun, inovasi yang diperkenalkan oleh dalang legendaris seperti Ki Narto Sabdho mengubah penempatan ini. Sinden mulai ditempatkan di depan panggung, menghadap langsung ke penonton, sehingga mendapat perhatian yang lebih besar.

Selain perubahan posisi, jumlah sinden yang tampil dalam sebuah pergelaran juga meningkat. Jika dahulu hanya satu orang, kini jumlahnya bisa mencapai sepuluh atau lebih, terutama dalam pergelaran spektakuler. Hal ini memberikan dinamika baru pada pertunjukan, dengan harmoni suara yang lebih kaya dan interaksi yang lebih menarik dengan penonton.

Asal Usul Sinden

Sejarah sinden tidak sepenuhnya tercatat secara rinci, tetapi berbagai teori mencoba menjelaskan asal-usulnya. Salah satu teori mengatakan bahwa sinden berasal dari istilah "sindir," yang bermakna menggoda atau memuji. Dalam konteks seni tradisional, sinden berperan sebagai penggoda suasana melalui nyanyian yang penuh makna.

Teori lain mengaitkan pesinden dengan tradisi Hindu-Buddha yang masuk ke Jawa pada abad ke-8. Istilah "sindhur," yang merujuk pada nyanyian pemujaan dewa dan dewi, dianggap sebagai cikal bakal sinden dalam budaya Jawa. Seiring waktu, profesi ini berkembang menjadi bagian integral dari seni pewayangan, bukan hanya sebagai pengiring tetapi juga sebagai penyampai pesan moral dan spiritual.

Modernisasi 

Di era modern, profesi sinden mengalami banyak perubahan. Tidak hanya kemampuan vokal yang menjadi tuntutan, tetapi juga penampilan fisik. Sinden kini diharapkan tampil dengan pakaian adat yang anggun dan menarik, sehingga memberikan nilai estetika tambahan pada pertunjukan.
Dalam beberapa dekade terakhir, muncul fenomena sinden pria yang mampu meniru kelembutan suara perempuan. Meski masih jarang, kehadiran mereka memberikan warna baru dalam seni tradisional. Inovasi ini mencerminkan inklusivitas dan fleksibilitas seni pewayangan untuk tetap relevan di era modern.

Tidak hanya di panggung wayang, sinden juga mulai merambah dunia hiburan yang lebih luas. Mereka tampil di acara televisi, rekaman musik, hingga kolaborasi dengan genre musik modern seperti campursari dan dangdut. Hal ini menunjukkan bahwa profesi sinden mampu beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan identitas budayanya.

CORE.AC.UK | UGM.AC.ID | BOLINGGO.TV 

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |