Indonesia jadi salah satu negara penyumbang deforestasi terbanyak.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Banjir bandang dan tanah longsor yang kembali terjadi di sejumlah wilayah Sumatera memantik kekhawatiran atas semakin rentannya sistem hidrologi pulau tersebut. Data Sistem Informasi Monitoring Nasional (NFMS/SIMONTANA) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan bahwa sejak 1990 hingga 2024, tutupan hutan alam di Sumatera terus menyusut akibat alih fungsi menjadi perkebunan sawit, pertanian lahan kering, serta hutan tanaman untuk produksi kayu.
Senior Data and GIS Specialist Greenpeace Indonesia, Sapta Ananda Proklamasi menjelaskan konversi besar-besaran tersebut berlangsung pada hutan lahan kering sekunder dan hutan rawa—dua tipe ekosistem yang memiliki peran krusial sebagai area resapan dan penyimpan air di hulu daerah aliran sungai (DAS).
"Ketika kawasan tersebut berubah menjadi perkebunan monokultur, kapasitas tanah dalam menahan air turun drastis dan limpasan permukaan meningkat saat terjadi hujan berintensitas tinggi," kata Sapta.
Pada sebagian besar DAS di Sumatera, tutupan hutan alam kini tersisa kurang dari 25 persen. Angka ini menempatkan fungsi hidrologi dalam status kritis dan rentan memicu banjir bandang, erosi tanah, serta kerusakan infrastruktur di wilayah hilir. Sisa hutan alam hanya terkonsentrasi pada blok-blok kecil di sepanjang Pegunungan Bukit Barisan yang semakin terfragmentasi.
"Kondisi ini membuat kemampuan ekosistem hulu dalam menahan air dan menjaga stabilitas lereng melemah, sementara ekspansi perkebunan dan hutan produksi masih terus berlangsung mengikuti kebutuhan pasokan sawit dan kayu," ujar Sapta.
Laporan deforestasi tahun 2024 memperlihatkan deforestasi bruto nasional mencapai 216,2 ribu hektare dengan lebih dari 90 persen terjadi pada hutan sekunder. Meski sebagian area kembali tercatat sebagai hutan melalui penanaman ulang, karakter hutan tanaman produksi tidak mampu menggantikan fungsi ekologis hutan alam, terutama dalam pengelolaan air dan pencegahan bencana hidrometeorologi.
Tekanan terhadap kawasan hutan dan DAS tersebut tercermin dari pola bencana yang makin sering muncul di Sumatera. Kejadian banjir bandang di Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Utara pada akhir November 2025 menunjukkan ciri khas penurunan kualitas ekosistem: aliran air cepat dari hulu membawa material kayu dan lumpur dalam volume besar, memperparah dampak kerusakan di pemukiman dan infrastruktur.
"Kondisi ini mengindikasikan urgensi pengendalian alih fungsi hutan alam dan pemulihan ekosistem hulu sebagai langkah mitigasi risiko bencana. Tanpa intervensi yang kuat, penurunan kualitas DAS dikhawatirkan akan menyebabkan banjir bandang semakin menjadi fenomena rutin di banyak kabupaten/kota di Sumatera," ujar Sapta.

52 minutes ago
6















































