Bea Cukai Terancam Dibekukan Publik Auto Setuju, Fakta Demi Fakta Dugaan Negatif Terkuak

1 hour ago 7
UangIlustrasi uang. Istimewa

WONOGIRI, JOGLOSEMARNEWS.COM – Wacana pembekuan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) kini bukan lagi sekadar isu di ruang rapat, melainkan telah menjadi perdebatan luas di tengah masyarakat. Ultimatum satu tahun yang dilontarkan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dinilai sebagai sinyal keras bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap institusi yang mengurusi kepabeanan itu berada di titik terendah.

Dalam rapat bersama Komisi XI DPR RI, Purbaya secara terbuka menyebut kemungkinan pembekuan DJBC jika dalam satu tahun ke depan kinerjanya tidak mampu menjawab keluhan masyarakat. Opsi ekstrem pun disodorkan, mulai dari merumahkan sekitar 16.000 pegawai hingga mengalihkan fungsi kepabeanan kepada pihak ketiga seperti Societe Generale de Surveillance (SGS), perusahaan asal Swiss yang pernah digunakan Indonesia pada era Menteri Keuangan Ali Wardhana sejak 1968 untuk menekan penyimpangan.

Pertanyaannya kini sederhana namun tajam: publik setuju atau tidak Bea Cukai dibekukan?

Desakan itu muncul bukan tanpa alasan. DJBC berkali-kali terseret isu negatif, dari laporan dugaan penyelewengan, praktik permainan nilai impor, hingga cerita soal mulusnya penyelundupan barang tertentu.

Kasus pedagang thrifting yang mengaku harus merogoh kocek hingga Rp 550 juta demi “meloloskan” satu kontainer pakaian bekas menjadi bara terbaru yang menyulut kemarahan publik. Angka fantastis itu bukan hanya menyakitkan pelaku usaha jujur, tetapi juga memperkuat kesan bahwa sistem pengawasan berjalan pincang.

Temuan langsung Menteri Keuangan saat inspeksi mendadak di Bea Cukai Tanjung Perak dan Balai Laboratorium Bea Cukai Surabaya semakin memperburuk citra DJBC. Nilai impor submersible pump yang tercatat hanya 7 dolar AS atau sekitar Rp 117 ribu, padahal harga pasar untuk barang serupa mencapai Rp 40–50 juta, menjadi contoh telanjang praktik underinvoicing. Selisih nilai yang tak masuk akal ini memantik kecurigaan adanya pembiaran atau permainan terstruktur.

Di sisi lain, suara masyarakat kian nyaring. Warga Wonogiri yang bergerak di sektor perdagangan menyebut ketimpangan gaya hidup pegawai Bea Cukai di lapangan sering kali mencolok.

“Kalau lihat rumah, kendaraan, dan gaya hidupnya, banyak yang terlihat kaya sekali plus sok pejabat. Tanpa perlu ada pembenaran dia punya bisnis atau warisan,” ujar seorang warga yang meminta namanya tak ditulis.

Pendapat serupa juga muncul di media sosial, memperlebar jurang antara institusi dan publik yang seharusnya dilayani. Bea cukai kerap disorot arogan dan hal negatif lainnya.

Meski demikian, tidak semua pihak sepakat pembekuan adalah solusi instan. Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menilai DJBC masih perlu diberi ruang untuk berbenah. Ia mengakui citra buruk Bea Cukai sangat dipengaruhi ulah oknum, namun tetap menyerahkan keputusan akhir kepada Menteri Keuangan sebagai pemegang otoritas. Bagi Misbakhun, pembekuan merupakan langkah besar yang efeknya tidak hanya dirasakan pegawai, tetapi juga sistem perdagangan nasional.

Namun logika publik berbeda. Di tengah tumpukan bukti, mulai dari dugaan suap, manipulasi data impor, sampai gaya hidup aparatur yang dipersepsikan jauh dari kata sederhana, dukungan terhadap langkah tegas justru menguat. Banyak warga menilai, jika dalam satu tahun perbaikan nyata tidak terlihat, pembekuan bahkan penggantian sistem dengan pihak ketiga layak dipertimbangkan sebagai terapi kejut.

DJBC sejatinya memikul mandat strategis: mengawasi lalu lintas barang, menegakkan hukum, memberi pelayanan, sekaligus mengamankan penerimaan negara. Ketika fungsi-fungsi ini terus tercoreng isu negatif, kepercayaan publik runtuh, dan wacana ekstrem seperti pembekuan menjadi terasa masuk akal.

Kini bola panas ada di tangan pemerintah. Satu tahun ke depan akan menjadi ujian krusial, bukan hanya bagi 16.000 pegawai Bea Cukai, tetapi juga bagi kredibilitas negara dalam membersihkan institusinya sendiri. Publik menunggu, apakah pembenahan sungguh terjadi, atau justru pembekuan menjadi jalan terakhir yang tak pernah dijalankan. Aris Arianto

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |