BEM Undip Ultimatum DPR: Somasi 3×24 Jam Gegara Nama Dicatut di RUU KUHAP

1 week ago 17
Tampak depan gedung Universitas Diponegoro | Wikipedia

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Diponegoro (BEM Undip) melayangkan somasi kepada DPR RI setelah merasa lembaganya dicatut dalam unggahan resmi Instagram @dpr_ri terkait proses penyempurnaan Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).

Dalam unggahan tersebut, DPR menampilkan sejumlah nama lembaga dan organisasi yang diklaim terlibat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) maupun Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). BEM Undip menjadi salah satu pihak yang disebut. Padahal secara tegas, organisasi mahasiswa itu menyatakan tidak pernah hadir ataupun memberikan masukan resmi kepada DPR dalam pembahasan RKUHAP.

Ketua BEM Undip, Aufa Atha Ariq, bahkan langsung menuliskan protes keras melalui kolom komentar akun DPR. Ia menegaskan organisasi yang dipimpinnya tak pernah berkirim surat, audiensi, maupun terlibat dalam diskusi formal apa pun soal RKUHAP.

Somasi Dilayangkan Dini Hari

Pada Rabu (19/11/2025) dini hari, melalui akun Instagram @bemundip, BEM Undip merilis pernyataan sikap disertai somasi. Mereka memberi waktu 3 x 24 jam kepada pimpinan Komisi III DPR RI untuk menyampaikan permintaan maaf secara terbuka.

Dalam pernyataan itu, BEM Undip juga mempertanyakan keaslian proses partisipasi publik yang diklaim DPR. Mereka menduga pencantuman berbagai nama lembaga hanya menjadi “hiasan” untuk menggambarkan keterlibatan masyarakat, bukan partisipasi yang benar-benar substansial.

Jika ultimatum tak dipenuhi, BEM Undip menyatakan siap mengeskalasi persoalan tersebut ke level yang lebih luas.

Koalisi Masyarakat Sipil Juga Keberatan

Tidak hanya BEM Undip, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP juga menyatakan keberatan. Nama koalisi itu disebut dalam pembahasan Panitia Kerja RUU KUHAP, namun mereka menilai masukan yang diklaim berasal dari pihaknya tidak pernah mereka ajukan.

Dalam siaran pers bertajuk “Manipulasi Partisipasi Bermakna…” yang dirilis Senin (17/11/2025), koalisi menilai DPR telah menyajikan gambaran keliru seolah-olah rekomendasi mereka telah diakomodasi. Padahal sejumlah usulan pemerintah maupun Komisi III justru bertentangan dengan dokumen resmi yang mereka berikan melalui RDPU, draf tandingan, atau masukan tertulis lainnya.

Koalisi menyebut tindakan DPR sebagai manipulasi partisipasi yang berpotensi merusak integritas proses legislasi.

Contoh Pasal yang Dipersoalkan

Sejumlah pasal yang diklaim mewakili masukan masyarakat sipil ternyata menurut koalisi tidak pernah mereka ajukan. Di antaranya:

  • Pasal 222 RKUHAP terkait perluasan alat bukti melalui pengamatan hakim.
  • Penjelasan Pasal 33 ayat (2) mengenai definisi intimidasi.
  • Usulan yang disebut berasal dari YLBHI terkait pasal Perlindungan Sementara.
  • Masukan yang diklaim berasal dari LBH APIK dan organisasi disabilitas mengenai kesaksian penyandang disabilitas.

Koalisi menegaskan seluruh klaim tersebut tidak benar.

Respons DPR

Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menepis tudingan manipulasi. Ia menegaskan hampir seluruh substansi KUHAP baru merupakan rekomendasi publik.

Ia menyebut pembahasan dilakukan terbuka sejak penugasan penyusunan naskah akademik pada November 2024 hingga pengesahan RUU pada 18 November 2025. Menurutnya, masukan datang dari beragam pihak, termasuk akademisi, LSM, advokat, hingga kampus.

Habiburokhman juga mengklaim KUHAP baru memperketat kewenangan aparat penegak hukum dan memperkuat hak tersangka, bukan sebaliknya.

Nama Akademisi dan Kampus yang Dicantumkan

Dalam unggahannya, DPR mencantumkan nama lima profesor dan dua doktor, serta beberapa fakultas hukum. Di antaranya:

  • Prof. Dr. Romli Atmasasmita
  • Prof. Dr. Andi Muhammad Asrun
  • Dr. Chairul Huda
  • Prof. I Nyoman Nurjaya
  • Prof. Adnan Hamid
  • Dr. Abdul Chair Ramadhan
  • Dr. Dadang Herli Saputra

Selain itu, DPR juga menampilkan nama berbagai lembaga negara, organisasi profesi hukum, hingga Komnas HAM dan LPSK.

RUU KUHAP Disahkan

Adapun, RUU KUHAP disahkan dalam Rapat Paripurna pada Selasa (18/11/2025) dan mulai berlaku awal Januari 2026. DPR menyebut undang-undang baru ini memuat 14 substansi utama, mulai dari penguatan hak tersangka, aturan baru penyadapan, hingga penguatan peran hakim pengawas.

Namun kontroversi pencatutan nama lembaga justru menimbulkan tanda tanya besar soal kualitas partisipasi publik yang diklaim DPR selama proses penyusunan.

Bagi BEM Undip dan koalisi masyarakat sipil, pertanyaan utamanya tetap sama: apakah keterlibatan publik itu nyata atau hanya formalitas demi legitimasi? [*] Disarikan dari sumber berita media daring

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |