Warga membersihkan rumahnya dari material lumpur di Kampung Rambutan, Desa Tukka, Kecamatan Tukka, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Kamis (4/12/2025). Hari kesembilan bencana banjir di Tapanuli Tengah, Kampung Rambutan di Desa Tukka masih terendam banjir. Tumpukan kayu terlihat memenuhi Sungai Sigultom yang membuat aliran air meluber ke jalan. Upaya warga untuk membersihkan rumahnya dari lumpur terkendala peralatan dan tebalnya ketinggian lumpur yang menimbun rumahnya.

Oleh : Dr Otong Sulaeman, Rektor STAI Sadra
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Hujan yang turun di Sumatera beberapa hari terakhir bukan hanya hujan, ia seperti lembaran kitab yang terbuka satu per satu, memperlihatkan tulisan-tulisan lama yang selama ini kita abaikan.
Sungai-sungai yang biasanya berbisik pelan kini mengaum, membawa lumpur dan batang-batang pohon yang tumbang seperti kenangan yang tercerabut paksa.
Di desa-desa yang berdiri tenang di antara perbukitan hijau itu, hidup berubah dalam sekejap—rumah hanyut, tanah retak, dan jeritan manusia tenggelam oleh raungan arus yang tak lagi mengenal batas.
Lebih dari delapan ratus jiwa hilang dalam hitungan jam, ratusan ribu orang kini berdesakan di tenda-tenda pengungsian, berusaha menemukan tidur yang tak kunjung datang.
Tragedi sebesar ini, tentu saja, tak boleh hanya kita baca sebagai rangkaian angka. Ada cara pandang lain yang harus kita hadirkan: sebuah seruan. Tragedi ini adalah seruan yang datang dari alam yang telah terlalu lama dipaksa bertahan, dari tanah yang lelah memikul beban ambisi manusia.
Air yang selama ini kita anggap berkah datang kali ini sebagai pengingat. Ia menyusuri lembah dan pemukiman dengan cara yang tak pernah kita bayangkan, seolah hendak berkata bahwa keseimbangan yang kita abaikan sedang menagih haknya.
Banyak suara moral pada hari ini mengingatkan bahwa merusak hutan, merusak sungai, dan merusak alam bukan hanya kecerobohan ekologis—melainkan bentuk pengkhianatan terhadap amanah yang dititipkan Tuhan kepada manusia.
Alam tidak sedang marah, ia hanya bertindak sesuai hukum yang sejak awal ditetapkan atasnya, yaitu, ketika keseimbangan diganggu, ia mencari keseimbangannya kembali. Dan kita, yang selama ini menganggap diri “pemilik” bumi, tiba-tiba menyadari betapa rapuhnya tempat kita berdiri.

6 hours ago
20
















































