Cara Haemin Sunim Berdamai dengan Inner Child

2 hours ago 2

TEMPO.CO, Jakarta - Bukan tanpa alasan bagi biksu Buddha, Haemin Sunim memasang potretnya saat kecil menjadi gambar latar layar ponselnya. Foto hitam putih itu menurut dia diambil saat usianya sekitar tiga tahun. Tujuan biksu bernama lengkap Joo Bong-suk ini adalah untuk bisa memberi afirmasi dan pesan pada dirinya di masa kecil. “Kapan pun aku melihat fotoku di masa kecil, aku berpikir untuk memberi dia pesan yang sangat ingin kudengar saat itu. Aku selalu mengatakan padanya, 'saya tidak akan menyinggung perasaanmu, saya akan selalu ada di sisimu dan mencintaimu apa adanya',” ujarnya saat menggelar temu wicara di kawasan Jakarta Pusat pada Kamis, 14 November 2024.

Cara ini menurutnya ia temukan saat ia mulai merunut akar masalah ketika ia dihadapkan pada rumor soal kehidupan pribadinya. Kisah ini ia tuliskan dalam buku terbarunya, When Things Don’t Go Your Way yang terbit pada Januari 2024. Buku ini diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, Ketika yang Terjadi Tak Sesuai Harapan oleh penerbit Kepustakaan Populer Gramedia yang terbit pada Agustus lalu.

Dalam bab pertama buku tersebut, Haemin menceritakan pengalamannya pada sekitar 2020 ketika ia sepakat untuk tampil dalam salah satu program televisi Korea yang mendokumentasikan kehidupan sejumlah orang terkenal. Setelah videonya tayang, sejumlah rumor tersebar cepat di media sosial. Berbagai macam tudingan miring mengarah pada Haemin karena dianggap sebagai parasit.

Haemin dianggap tak merepresentasikan kehidupan biksu pada umumnya yang berprinsip ‘hidup tanpa harta’ karena ia tinggal di rumah mewah dan dituding memiliki Ferrari. Tudingan-tudingan dan cibiran di media sosial membuatnya frustasi. Menurut dia, rumahnya sederhana dan ia sama sekali tak memiliki lisensi mengemudi sama sekali. Hal yang lebih memukul adalah saat kritikan datang dari seniornya sesama biksu senior yang juga penulis terkenal di Korea. Ia menuding Haemin sebagai tukang hibur yang tak paham Buddhisme yang sebenarnya. “Saya sudah sering merasakan asam garam kehidupan. Tapi kali ini, saya mendapatkan terlalu banyak asam. Saya begitu terkejut, lelah, dan sakit hati,” tulis dia.

Memang, menurut dia, di tengah terpaan isu miring itu, masih banyak kawan dan kerabat menghubunginya dan memastikan kabarnya. Mulanya, ia merasa dirinya baik-baik saja. Tapi akhirnya ia sadar, itu bukan perasaannya yang sebenarnya. “Akhirnya saya mengizinkan diri saya merasa tidak baik-baik saja.”

Persis saat ia menyediakan ruang bagi emosi yang belum bisa ia olah, Haemin menyebut ada energi besar yang ia rasakan. Energi itu mendorongnya berteriak di dalam kamar. Ia juga mengekspresikan emosinya dalam jurnal hariannya, ia menari, mendaki gunung. Ia biarkan dirinya merasakan sedih dan terluka dalam beberapa bulan hingga semua amarah itu terlampiaskan. Akhirnya, kata dia, usai melepas semua emosi itu, dan membiarkannya menangis, pria yang pernah mengenyam pendidikan di Universitas California, Berkeley, Universitas Harvard dan Universitas Princetown itu menyadari akar dari emosinya selama ini adalah perasaan takut.

Haemin Sunim menunjukkan fotonya saat kecil sebagai latar layar ponselnya. Istimewa

Dalam jurnalnya ia merinci rasa takut apa yang ia rasakan. Ia takut tak bisa menafkahi orang-orang yang bergantung padanya seperti kedua orang tuanya, anak asuhnya, asistennya, para staf dan keluarga mereka. Ia menggali lebih dalam lagi, apa yang sebenarnya ia takutkan? Memori membawanya pada ingatan masa kecil saat sempat ketakutan saat kehilangan ibunya di pasar. “Akhirnya saya paham mengapa saya memiliki rasa takut ditinggalkan.”

Memori itu, menurut Haenim muncul setelah ia sadar kalau selama ini sudah mengabaikan inner child yang terpisah dari sumber kasih sayang. Ia merasakan betapa menakutkannya dunia bagi seorang anak saat kehilangan ibunya. Kesadarannya untuk kembali menjumpainya di masa kecil mendorongnya untuk memberikan pesan agar bisa berdamai dengan ketakutan di bawah sadar yang menggelayutinya sekian lama. “Saat kembali melihat foto di masa kecil, aku berpikir soal apa yang sangat ingin kudengar saat itu.Aku rekomendasikan kamu melakukan hal yang sama. Mengirim pesan pada kamu waktu kecil pesan yang ingin kamu dengar dari orang tua atau kakek nenek saat itu.”

Dalam sesi diskusi itu, Haemin juga memberikan rahasia bagaimana menemukan kebahagiaan. "Aku menemukan rahasia ini setelah kurang lebih 20 tahun," tutur dia. "Rahasia kebahagiaan adalah saat kamu menyadari bahwa kamu sudah bahagia," ujarnya.

Sebelum memutuskan menjadi biksu, pria berusia lima puluh tahun ini bernama Joo Bong-Suk atau Ryan Bongsuk Joo. Kini ia dikenal dengan nama Haemin Sunim, seorang guru agama Buddha Zen dan penulis berpengaruh di Korea Selatan. Buku-bukunya The Things You Can See Only When You Slow Down, Love for Imperfect Things, dan When Things Don’t Go Your Way. Buku-bukunya itu tak hanya terkenal sebagai panduan dalam bermeditasi, tetapi juga panduan dalam menghadapi tantangan dalam kehidupan sehari-hari. Bulan ini, ia mengadakan tur buku di tiga kota di Indonesia pada 14-18 November 2024. Haemin Sunim menjumpai para pembacanya di Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |