TEMPO.CO, Jakarta - Teknologi kecerdasan buatan atau AI kembali menggemparkan dunia digital setelah OpenAI memperkenalkan fitur terbaru dalam model GPT-4o. Fitur ini memungkinkan pengguna menghasilkan gambar dalam berbagai gaya artistik, termasuk animasi khas Studio Ghibli. Fenomena ini pun melahirkan tren baru yang disebut "Ghiblifikasi"—proses mengubah foto biasa menjadi ilustrasi bergaya Studio Ghibli, studio animasi Jepang yang terkenal.
Sejumlah pengguna media sosial dengan antusias membagikan hasil karya AI ini, mengunggah foto pribadi, hewan peliharaan, hingga pemandangan yang telah diubah menjadi versi ala film-film Hayao Miyazaki. Namun, di balik kepopulerannya, fitur ini juga menuai kontroversi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ChatGPT, yang dikembangkan oleh OpenAI, telah memicu penggunaan luas eksperimen "Ghiblifikasi". Bahkan CEO OpenAI Sam Altman mengubah foto profilnya di media sosial menjadi gambar dengan gaya Studio Ghibli. Dalam sebuah makalah teknis, OpenAI menjelaskan bahwa alat baru ini akan menerapkan "pendekatan konservatif" dalam meniru estetika seorang seniman.
"Kami telah menambahkan kemampuan menolak ketika seorang pengguna mencoba membangkitkan sebuah gambar dalam gaya seorang seniman yang masih hidup," demikian kata perusahaan. "Mengizinkan gaya studio yang lebih luas--yang digunakan penyukanya untuk membuat dan membagikan beberapa kreasi orisinal yang benar-benar menyenangkan dan menginspirasi."
Di tengah maraknya gambar-gambar bergaya Studio Ghibli di media sosial, muncul kembali pernyataan lama Hayao Miyazaki, salah satu pendiri studio tersebut, tentang AI dalam animasi. Dalam sebuah dokumenter pada 2016, Miyazaki mengungkapkan rasa 'sangat muak' setelah melihat demo AI yang menampilkan animasi tubuh bergerak dengan cara menyeret diri menggunakan kepala.
Orang yang mempresentasikan animasi tersebut mengatakan bahwa AI memungkinkan penciptaan gerakan-gerakan yang tidak terbayangkan oleh manusia, seperti gerakan zombie yang diperlihatkannya. Namun Miyazaki tampaknya memiliki pandangan yang berbeda. Hal ini membuat Miyazaki menceritakan sebuah kisah. "Setiap pagi, bukan belakangan ini, saya melihat teman saya yang memiliki disabilitas," kata Miyazaki.
"Begitu sulit baginya hanya untuk melakukan high five; lengannya yang kaku tidak bisa meraih tangan saya. Sekarang, memikirkan dia, saya tidak bisa menonton hal seperti ini dan merasa tertarik. Siapapun yang menciptakan hal ini tidak tahu apa itu arti penderitaan," ucapnya kala itu.
Animator dan pembuat film berusia 84 tahun tersebut menegaskan bahwa dia tidak akan pernah memasukkan teknologi AI ke dalam karyanya, bahkan merasa teknologi tersebut sebagai penghinaan terhadap kehidupan itu sendiri.
Pakar hukum Josh Weigensberg mengingatkan tentang potensi masalah hak cipta terkait penggunaan AI untuk meniru gaya Studio Ghibli. Dia mempertanyakan apakah pihak yang menggunakan teknologi tersebut memiliki lisensi atau izin untuk melatih AI dengan gaya itu. Weigensberg menambahkan bahwa meskipun gaya seni tidak bisa dilindungi hak cipta, elemen spesifik dalam karya seni bisa menjadi bahan pertimbangan hukum.
Dia memberikan contoh film Studio Ghibli, seperti Howl’s Moving Castle atau Spirited Away, yang mana satu frame bisa diambil untuk menunjukkan elemen-elemen tertentu. Selanjutnya, elemen-elemen tersebut dapat dibandingkan dengan hasil AI generatif untuk menemukan kesamaan atau kemiripan yang mencolok.
Seniman Karla Ortiz, yang tengah menggugat perusahaan pembuat gambar AI atas dugaan pelanggaran hak cipta, juga mengecam tren ini. “Mereka menggunakan merek Ghibli, nama mereka, karya mereka, dan reputasi mereka untuk mempromosikan produk OpenAI,” kata Ortiz. Lalu dia menyebut bahwa hal ini merupakan bentuk penghinaan dan eksploitasi.
Ortiz semakin marah setelah pemerintahan Presiden Donald Trump memanfaatkan tren ini dengan mengunggah gambar bergaya Ghibli dari seorang perempuan yang baru saja ditangkap oleh agen imigrasi AS. “Melihat sesuatu yang sebrilian dan seindah karya Miyazaki dirusak untuk menghasilkan sesuatu yang begitu menjijikkan,” tulis Ortiz di akun media sosialnya.
Sebelumnya, dalam pernyataannya kepada Wall Street Journal, OpenAI menyatakan bahwa GPT-4o dilatih menggunakan data yang tersedia untuk publik serta data eksklusif hasil kemitraan dengan perusahaan seperti Shutterstock. Meski demikian, OpenAI tetap mempertahankan kebijakan terkait hak cipta.
“Kami menghormati hak para seniman dalam cara kami menghasilkan output, dan kami memiliki kebijakan yang mencegah kami membuat gambar yang secara langsung meniru karya seniman yang masih hidup,” kata Chief Operating Officer OpenAI Brad Lightcap seperti dikutip dari laporan Tech Crunch.
Sebagai bagian dari komitmen tersebut, OpenAI menawarkan formulir opt-out bagi kreator yang ingin menghapus karyanya dari dataset pelatihan. Perusahaan juga mengungkapkan bahwa mereka menghormati permintaan untuk mencegah bot web-scraping mereka mengumpulkan data dari situs web, termasuk gambar.
Defara Dhanya dan AP News turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.