TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Mekatronika Cerdas (PRMC) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Roni Permana Saputra menerangkan lima tingkatan teknologi kendaraan otonom. Saat ini, menurut Roni, BRIN mencoba mengembangkan kendaraan otonom di antara level tiga dan empat.
"Untuk mencapai level lima, masih banyak hal yang harus dikembangkan dan diperhatikan, termasuk regulasi dari pemerintah," katanya melalui keterangan tertulis, Sabtu 18 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Roni, penguasaan teknologi kendaraan listrik otonom mencakup berbagai hal yang wajib diperhatikan. Dia menunjuk teknologi fisik kendaraan, berbagai sensor, navigasi sebagai penentuan rute yang aman untuk dilalui atau berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya, sistem kendali, dan antarmuka pengguna-kendaraan.
Roni merinci kendaraan otonom level satu disebut driver assistance. Pada level ini kendaraan otonom hanya berfungsi sebagai asisten atau pemberi bantuan kepada pengendara. Misalnya, bantuan pada proses pengereman.
Pada level dua, yaitu partial automation, bersifat parsial atau adanya otomatisasi dalam kendaraan yang bersifat sebagian. Sebagian besar kendali kendaraan masih dipegang pengendara.
Pada level tiga disebut conditional automation, yaitu kendaraan dapat beroperasi secara otonom pada kondisi-kondisi tertentu. Sedangkan level empat sudah high automation di mana kendaraan sudah hampir bisa beroperasi secara otonom penuh tapi ada batasan-batasan pada kondisi tertentu.
Terakhir, level lima yaitu full automation. "Kendaraan sudah bisa beroperasi secara otonom tanpa adanya intervensi bantuan manusia sebagai pengguna di semua kondisi dan beradaptasi di semua kondisi,” ujar Roni.
Alasan dan Syarat Alih Teknologi ke Kendaraan Otonom
Roni membeberkan beberapa alasan pentingnya alih teknologi penggunaan kendaraan otonom, diantaranya untuk keselamatan, efisiensi, aksesibilitas, dan ekonomi. Faktor keselamatan terkait dengan salah satu fakta bahwa banyak kecelakaan disebabkan kelalaian pengemudinya.
“Kendaraan otonom hadir salah satunya untuk meminimalisasi adanya kecelakaan karena faktor manusia tersebut, juga menambah kenyamanan dan efektivitas dalam berkendara,” tutur Roni.
Namun, kata dia, penerapan di lapangan setidaknya memerlukan dasar pada aspek sosialisasi dan regulasi. Ini dipandangnya kebutuhan mutlak karena ketika di jalanan, penggunaan kendaraan otonom akan dihadapkan pada berbagai situasi kompleks.
Ditekankannya pula, kendaraan otonom menggunakan berbagai sensor, sistem navigasi, dan kecerdasan buatan (AI) untuk mengemudi sendiri tanpa intervensi manusia. Itu artinya, kendaraan harus dapat mengenali lingkungannya dan mengambil keputusan sendiri tanpa secara eksplisit disuruh atau diprogram oleh manusia. "Penguatan teknologi menjadi kunci dalam sistem otonom kendaraan listrik."
Peneliti Ahli Muda PRMC BRIN Taufiq Ibnu Salim menambahkan, untuk memenuhi target level empat otonom pada 2025, pengembangannya masih proses integrasi antar bagian persepsi ke dalam local planner. "Termasuk pengambilan dan training data metode end-to-end learning, serta komparasi performa metode," katanya.
Taufik menjelaskan fokus yang dilakukan dirinya dan tim dalam penguasaan teknologi khususnya Micro Electric Vehicle (MEVi) adalah sistem deteksi objek/sensor, sistem telekomunikasi, human to vehicle interaction, dan computer vision.