TEMPO.CO, Jakarta - Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta dan rakyat bersatu lakukan aksi Indonesia Gelap pada Kamis, 20 Februari 2025. Berbagai elemen masyarakat itu unjuk rasa sebagai bentuk protes terhadap sejumlah kebijakan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Aksi yang dimulai sekitar pukul 11.30 tersebut mengakibatkan kemacetan parah di kawasan Jalan Malioboro, sehingga pihak kepolisian harus mengalihkan arus lalu lintas untuk menghindari kepadatan yang lebih besar.
Demonstrasi ini berlangsung di sepanjang rute dari Taman Parkir Abu Bakar Ali hingga Titik Nol Kilometer Yogyakarta. Para mahasiswa, yang berasal dari berbagai kelompok, termasuk UGM, mengenakan pakaian serba hitam sebagai simbol dengan pita berwarna kuning. Warna hitam yang mereka gunakan melambangkan kekecewaan dan pesimisme terhadap kepemimpinan Prabowo, Gibran Rakabuming Raka, serta Kabinet Merah Putih yang dianggap tidak memberikan harapan cerah bagi masa depan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka membawa beberapa poster menyoroti berbagai kebijakan yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat, salah satunya pemangkasan anggaran pendidikan. Salah seorang peserta aksi, Afif, mengungkapkan bahwa realitas saat ini menunjukkan bagaimana rakyat semakin terbebani oleh pemerintah yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Poster dalam aksi demonstrasi Indonesia Gelap di Yogyakarta, pada Kamis, 20 Februari 2025. Foto: TEMPO/Angelina Tiara Puspitalova
“Poster ‘Rakyat Diperas, Anggaran Pendidikan Dipangkas, Indonesia Cemas’ itu menggambarkan kondisi saat ini. Rakyat terus diperas untuk memenuhi keinginan pemerintah yang tidak sesuai dengan prioritas utama. Pendidikan, layanan kesehatan, dan infrastruktur justru semakin terabaikan. Ini adalah ironi besar karena seharusnya pemerintah hadir untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan malah mengurangi anggaran pendidikan,” kata Afif, mahasiswa UGM dalam wawancara di tengah aksi.
Afif mengkritisi adanya dugaan sistematisasi kebodohan yang dilakukan pemerintah agar rakyat lebih mudah dimobilisasi dalam berbagai kepentingan politik, seperti saat pemilu dengan bantuan sosial yang dianggap hanya sebagai alat untuk mempengaruhi suara masyarakat.
Senada dengan Afif, seorang mahasiswa lain bernama Kezia menegaskan bahwa pemerintah saat ini melakukan bentuk penindasan struktural yang kejam. “Ketika pemerintah secara sistematis membiarkan kebodohan terjadi, itu adalah bentuk penindasan struktural. Masyarakat yang tidak mendapatkan pendidikan layak akan lebih mudah dimanipulasi,” kata dia.
Saat ditanya mengenai poster aksi ini, Kezia mahasiswa UGM menegaskan bahwa mahasiswa memiliki tanggung jawab moral sebagai penyambung lidah rakyat. Seperti arti dalam poster, "Kami bergerak karena alasan kemanusiaan. Kami adalah suara rakyat yang tidak bisa berbicara langsung kepada pemerintah. Sejak Presiden Prabowo menjabat, justru semakin banyak ketidakadilan yang dirasakan masyarakat,” kata Kezia, menegaskan.
Sementara itu, masa aksi dari non mahasiswa bernama Rojali menyoroti poster kesenjangan sosial yang semakin melebar di bawah pemerintahan saat ini. “Poster ini seperti bukan membahagiakan rakyat ya, tetapi kebijakan pemerintah ini justru semakin meresahkan. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Anggaran-anggaran yang seharusnya untuk kesejahteraan malah tidak jelas penggunaannya,” ujarnya.
Aksi ini berlangsung dengan tertib meskipun sempat menyebabkan kemacetan panjang di sekitar Jalan Malioboro. Aparat kepolisian terlihat berjaga ketat untuk menghindari adanya kemungkinan bentrokan antara demonstran dan pihak keamanan.
Sebagai penutup, aksi sore hari ini dengan beberapa mahasiswa dan rakyat tetap bertahan di Titik Nol Kilometer Yogyakarta sambil terus menyuarakan tuntutan mereka. Mereka menegaskan akan terus melakukan aksi lanjutan jika pemerintah tidak segera merespons aspirasi yang mereka sampaikan. Aksi mahasiswa ini menjadi bukti bahwa mahasiswa dan rakyat harus tetap berada di garis depan dalam memperjuangkan keadilan dan hak-hak rakyat.