INFO NASIONAL - Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mengelar Focus Group Discussion (FGD) tentang Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara dalam Berbangsa dan Bernegara dengan subtema Kedaulatan Ekonomi, di Universitas Muhammadiyah Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Kamis, 17 Oktober 2024. Dalam diskusi ini diketahui bahwa kemiskinan merupakan masalah kompleks yang menyangkutpautkan persoalan multidimensi yang tidak hanya melibatkan soal-soal struktural di bidang sosial, ekonomi dan politik melainkan juga masalah-masalah kultural yang membutuhkan solusi sistemik dan holistik juga.
Karena itu, upaya pengentasan kemiskinan tidak bisa hanya dilakukan dengan menangani berbagai gejala-gejalanya, tetapi harus sampai pada mengangkat dan menghilangkan hambatan-hambatan yang bersifat struktural dan kultural sekaligus yang menjadi sumber penyebabnya. Masalah yang dihadapi yaitu regulasi yang berpihak pada kapitalis.
Itu sebabnya, negara wajib melaksanakan kebijakan-kebijakan yang menjamin kedaulatan rakyat atas akses ekonomi dan bukan justru berpihak kepada kepentingan pemodal. Dalam hal ini, perlu ditekankan pula bahwa gagasan demokrasi ekonomi dalam Pancasila tidak berarti menegasikan keberadaan peran modal dan kapital. Keberadaan keduanya tetap dianggap sebagai sesuatu yang penting.
Hanya saja, norma etik yang digariskan secara tegas dalam demokrasi ekonomi Pancasila menghendaki agar prinsip efisiensi beserta mekanisme pasar yang mengaturnya tidak boleh menempatkan kedaulatan rakyat dalam posisi subordinat. Kepentingan kapital yang bertransaksi di dalam pasar harus diatur agar tidak boleh berdampak pada munculnya ketimpangan sosial dan kemiskinan di masyarakat.
Kemiskinan juga terjadi secara kultural yaitu kemiskinan yang disebabkan pergeseran atas persepsi dan nilai masyarakat terhadap pengelolaan sumber daya ekonomi yang dimilikinya berdasarkan budaya. Faktor budaya dan pola pikir masyarakat yang stagnan dan tidak berkembang terkadang juga menjadi penyebab minimnya kreativitas dan pola berpikir kritis terhadap upaya peningkatan kualitas ekonomi.
Karena itu, dibutuhkan gerakan sosial secara kolaboratif dan partisipatif dari seluruh elemen, termasuk tokoh keagamaan, civil society, perguruan tinggi, dan lembaga penegak hukum sebagai empat agen utama untuk memerangi sumber kemiskinan. Gerakan tersebut bukan hanya bersifat counter movement (perlawanan reaktif) terhadap praktik ekonomi yang tidak adil, tetapi juga upaya menata diri masyarakat melalui self-based empowerment atau community-based empowerment.
Iklan
Hal itu dilakukan untuk mendorong rakyat agar tidak mudah terseret dalam sistem relasi ekonomi yang eksploitatif, dan mampu menjadi subyek yang berdaulat dalam mengelola berbagai potensi ekonomi yang dimilikinya. Diskusi ini juga menghasilkan beberapa rekomendasi, yakni pertama, mendorong komitmen pemerintah Presiden Prabowo dalam melaksanakan Asta Cita sebagai upaya mewujudkan sistem ekonomi yang berdasarkan demokrasi Pancasila.
Kedua, penyusunan kebijakan yang holistik berbasis kepada analisis akar masalah, pendekatan budaya, pengelolaan tata niaga dari hulu ke hilir, dan melibatkan semua pihak. Ketiga, mebijakan terkait lapangan pekerjaan harus mampu meningkatkan pendapatan para pekerja.
Keempat, perlunya percepatan dalam pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat. Kelima, penegakan hukum terhadap Undang Undang tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan Undang Undang Ketenagakerjaan.
Keenam, pemerintah harus menjadikan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 sebagai dasar dalam merumuskan kebijakan ekonomi (sistem ekonomi Pancasila). Ketujuh, memaksimalkan potensi ekonomi daerah.
Kedelapan, melibatan masyarakat dan organisasi/komunitas keagamaan dalam upaya memperbaiki sistem pendidikan formal maupun informal. Kesembilan, kolaborasi antara pemerintah dan tokoh agama/masyarakat dalam pengentasan kemiskinan dan pencegahan perdagangan manusia (human trafficking).
Kesepuluh, BPIP harus mendorong kebijakan pemerintah agar memperhatikan masyarakat adat dan kearifan lokal, dengan cara mendukung percepatan diundangkannya RUU Masyarakat Adat. Kesebelas, kehadiran BPIP bisa menjadi oase bagi masyarakat sebagai penyambung lidah (the voice of the voiceless) dalam menyampaikan aspirasi dari problematika masyarakat. (*)