Di Balik Rekor IHSG: Antara Valuasi, Euforia, dan Ilusi Kinerja

4 hours ago 9

Oleh: Irwin Ananta Vidada, SE, MM, Dosen Program Studi Manajemen, Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali menorehkan rekor tertinggi sepanjang sejarah, menembus level 8.257 pada kuartal IV 2025, setelah sempat melemah di bawah 7.000 pada awal tahun akibat tekanan global.

Kenaikan tajam yang membawa IHSG mencetak all time high ini menjadi sorotan pelaku pasar. Namun, di balik euforia tersebut, muncul pertanyaan mendasar: siapa sebenarnya yang menopang reli pasar kali ini?

Jika ditelusuri lebih dalam, reli indeks kali ini tidak sepenuhnya ditopang saham-saham berkapitalisasi besar dengan fundamental kuat yang selama ini menjadi pilar utama IHSG.

Sebaliknya, lonjakan indeks justru turut dipicu pergerakan saham-saham berkapitalisasi menengah hingga kecil yang melonjak tajam akibat sentimen sesaat, mulai dari rumor indeksasi, narasi tematik, hingga euforia publik.

Sejumlah analis menilai, kenaikan luar biasa pada saham konglomerasi dan saham bertema baru lebih mencerminkan dinamika psikologis pasar ketimbang pertumbuhan kinerja riil emiten.

Fenomena ini mengulang pola lama: ketika logika digantikan emosi, pasar kerap bergerak tidak sejalan dengan fundamental.

Euforia Pasar dan Ilusi Kekuatan Indeks

Dalam beberapa bulan terakhir, publik dibuat terkejut oleh pergerakan sejumlah saham yang naik ratusan persen hanya dalam hitungan hari.

Lonjakan tersebut kerap disertai valuasi yang tidak masuk akal, price to book value (PBV) dan price to earnings ratio (PER) yang mencapai ratusan hingga ribuan kali. Ironisnya, sebagian saham tersebut justru memiliki likuiditas rendah dan volume transaksi harian kecil.

Namun karena kapitalisasi pasarnya besar, kontribusinya terhadap indeks menjadi signifikan. Akibatnya, IHSG tampak menguat, tetapi penguatan itu lebih bersifat permukaan ketimbang mencerminkan kekuatan riil pasar.

Pasar saham, pada dasarnya, adalah arena pertemuan antara logika dan psikologi. Ketika rasionalitas mendominasi, harga akan mencerminkan nilai.

Sebaliknya, saat pasar dikuasai fear of missing out (FOMO), rumor, dan spekulasi, harga bisa berayun ekstrem, mirip fenomena barang konsumtif yang pernah mengalami lonjakan harga sesaat seperti sepeda Brompton, sneakers Yeezy, hingga tanaman janda bolong. Ketika tren mereda, harga kembali normal. Hal serupa berlaku di pasar saham.

Antara Narasi Korporasi dan Dugaan Spekulasi

Meski demikian, tidak semua lonjakan harga dapat serta-merta dikategorikan sebagai hasil spekulasi.

Dalam beberapa kasus, kenaikan valuasi ekstrem dapat mencerminkan ekspektasi pasar terhadap rencana aksi korporasi (corporate action) yang bersifat transformatif, seperti restrukturisasi grup usaha, konsolidasi entitas anak, penjualan aset strategis, atau ekspansi ke sektor baru yang dianggap memiliki potensi pertumbuhan tinggi.

Langkah-langkah tersebut, jika benar-benar terealisasi dan berdampak pada peningkatan laba atau efisiensi, dapat menjadi pembenaran rasional atas valuasi yang tampak mahal.

Namun, permasalahannya terletak pada kesenjangan antara narasi dan realisasi. Selama aksi korporasi tersebut masih berupa wacana tanpa bukti konkret, maka euforia harga lebih tepat dibaca sebagai refleksi spekulasi, bukan proyeksi nilai.

Fundamental tak Mati, Hanya Dilupakan

Di sisi lain, saham-saham dengan kinerja fundamental kuat, seperti sektor perbankan, konsumsi, dan emiten dengan rekam jejak baik, justru belum menunjukkan pemulihan harga signifikan, meski laporan keuangannya menunjukkan peningkatan laba dan efisiensi.

Pertanyaan klasik pun muncul: apakah fundamental telah kehilangan relevansinya? Sejarah menjawab tidak. Fundamental tidak mati, hanya sesekali dilupakan. Krisis dan euforia datang silih berganti.

Tahun-tahun seperti 2013, 2015, hingga masa pandemi 2020 pernah menekan harga saham unggulan, namun seiring waktu, mayoritas emiten kembali menguat seiring pertumbuhan nilai intrinsiknya.

Analisis fundamental sejatinya berfungsi sebagai kompas investasi, bukan alat pengendali harga jangka pendek.

Harga saham dalam jangka pendek lebih dipengaruhi dinamika permintaan dan penawaran, tekanan jual dari aksi profit taking, maupun akumulasi oleh investor besar. Karena itu, kesabaran dan pandangan jangka panjang menjadi kunci bagi investor yang berorientasi nilai.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |