DOSEN dan peneliti Universitas Islam Indonesia (UII) Listya Endang Artiani memandang tren masyarakat yang ramai-ramai membeli emas kendati harganya naik bukanlah fenomena biasa. Menurut Listya, negara harus membaca sinyal pasar bukan sebagai sekadar gejala ekonomi. Sebab, fenomena ini mengindikasikan adanya ekpektasi negatif terhadap perekonomian Tanah Air.
“Fenomena borong emas ini juga mencerminkan sebuah ketidakpercayaan yang berkembang terhadap kebijakan moneter dan fiskal yang ada” kata Listya dalam keterangan tertulis kepada Tempo, Senin, 21 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai informasi, harga emas mengalami kenaikan signifikan dalam beberapa pekan terakhir. Pada awal April, harganya per ons troy atau per 31,1 gramnya mencapai sekitar 3.350 dolar Amerika Serikat (AS). Berdasarkan nilai tukar rupiah ke dolar AS di Rp 16,800-an, maka per gramnya harga emas sekitar Rp 1,8 jutaan.
Listya mengatakan, tren membeli emas walau harganya melonjak dapat dimaknai sebagai upaya perlindungan nilai (store of value) oleh masyarakat. Gejala ekonomi ini terjadi seiring munculnya gejolak global dan ketidakpastian ekonomi dunia yang semakin intens, yang dinilai mengancam perekonomian Indonesia.
Mereka memborong emas dalam upaya mengalihkan aset ke logam mulia lantaran emas bisa menjadi safe haven asset atau aset penyelamat yang mampu mempertahankan nilainya ketika terjadi tekanan sistemik pada pasar keuangan. Karena emas memiliki korelasi rendah, bahkan negatif, terhadap aset seperti saham dan obligasi.
“Menjadikannya pelindung nilai yang efektif dalam kondisi krisis atau ketidakpastian ekonomi,” kata dosen di Jurusan Ekonomi Fakultas Bisnis dan Ekonomika, UII, Yogyakarta ini.
Menurut Listya, fenomena memindahkan ke dalam emas bisa menjadi bahaya bagi perekonomian di masa mendatang. Sebab, kata dia, tren ini dapat menimbulkan opportunity cost terhadap pembiayaan sektor riil. Pasalnya, dana yang seharusnya dapat digunakan untuk investasi produktif justru mengendap dalam bentuk aset non-produktif seperti emas tersebut.
Berdasarkan data terbaru dari Bank Indonesia (BI), pada triwulan pertama 2025, terjadi perlambatan pertumbuhan simpanan deposito dibandingkan dengan periode sebelumnya. Hal ini mencerminkan pergeseran preferensi investor dan masyarakat terhadap instrumen investasi alternatif, seperti logam mulia, di tengah ketidakpastian ekonomi global dan fluktuasi pasar keuangan.
“Dalam konteks teori crowding-out effect, perpindahan besar-besaran ini dapat mengganggu fungsi intermediasi lembaga keuangan, terutama jika didorong oleh sentimen negatif terhadap kebijakan moneter,” kata Listya.
Karena bahaya yang mengintai tak main-main, menurut Listya, pemerintah dan bank sentral harus segera merespons dengan kebijakan yang dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap stabilitas ekonomi.
Berikut beberapa rekomendasi Listya Endang untuk menanggapi fenomena ini:
1. Peningkatan Komunikasi Kebijakan Moneter (Forward Guidance)
BI perlu mengoptimalkan penggunaan instrumen komunikasi kebijakan, seperti forward guidance, untuk menjelaskan ekspektasi kebijakan moneter dan langkah-langkah yang diambil untuk menanggulangi inflasi dan stabilitas nilai tukar rupiah. Ini akan membantu masyarakat dan investor memiliki gambaran yang lebih jelas mengenai arah kebijakan ekonomi negara.
“Sehingga mengurangi ketergantungan pada emas sebagai satu-satunya alternatif penyimpanan nilai,” katanya.
2. Diversifikasi Instrumen Investasi yang Kompetitif dan Inklusif
Pemerintah perlu menyediakan instrumen investasi yang lebih beragam dan kompetitif bagi masyarakat. Hal ini dapat mencakup peningkatan akses ke Sukuk Ritel, Obligasi Negara Ritel (ORI), serta produk investasi berbasis green bonds dan impact investing yang mengarah pada pembiayaan proyek-proyek berkelanjutan.
“Instrumen ini tidak hanya akan memberikan pengembalian yang menarik tetapi juga berkontribusi pada pembangunan ekonomi yang lebih luas,” kata Listya.
3. Peningkatan Literasi Keuangan dan Edukasi Investasi
Menurut Listya, edukasi tentang investasi yang cerdas dan produktif harus menjadi prioritas bagi lembaga keuangan dan pemerintah. Masyarakat perlu diberikan pemahaman yang lebih baik mengenai potensi risiko dan imbal hasil dari berbagai instrumen investasi. Literasi keuangan yang lebih tinggi akan membantu investor membuat keputusan investasi yang lebih rasional dan tidak hanya berdasarkan tren pasar atau efek herd mentality.
4. Regulasi dan Pemantauan Aset Non-Produktif
Sementara emas berfungsi sebagai alat lindung nilai, perlu ada regulasi yang lebih ketat terhadap perdagangan emas, terutama dalam bentuk fisik, agar tidak ada risiko penurunan transparansi sistem keuangan. Regulasi yang mendorong pencatatan kepemilikan emas dalam sistem keuangan formal akan memperluas basis pajak negara dan membantu pemerintah melakukan perencanaan fiskal lebih akurat.
5. Penguatan Ekosistem Pasar Modal
Selain mendorong instrumen investasi non-emas, kata Listya, penguatan pasar modal Indonesia harus menjadi prioritas kebijakan jangka panjang. Pemerintah dan otoritas pasar modal perlu mempercepat pembentukan dan pengembangan pasar saham yang lebih inklusif.
“Di mana investor bisa mendapatkan akses ke berbagai produk keuangan yang aman dan menguntungkan, yang pada gilirannya bisa mengurangi ketergantungan pada logam mulia sebagai alternatif investasi utama,” kata dia.
Menurut Listya, Meskipun emas memiliki fungsi penting sebagai pelindung nilai dalam periode ketidakpastian, keputusan untuk berinvestasi dalam emas harus ditempatkan dalam konteks yang lebih luas, di mana instrumen investasi produktif lainnya juga dapat memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian negara.
“Untuk itu, kebijakan yang berpihak pada literasi keuangan, transparansi pasar, dan diversifikasi investasi akan menjadi kunci untuk mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih produktif, berkelanjutan, dan stabil,” kata Listya.