REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan bahwa dua orang cucunya sempat menjadi korban keracunan akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG). Bahkan, cucu-cucunya itu sempat menjalani perawatan di rumah sakit.
Ia mengatakan, dua anak dari keponakannya itu ikut menyantap MBG beberapa hari lalu. Namun, setelah menyantapnya cucu dan sejumlah teman-temannya di sekolah mengalami muntah-muntah.
"Saya punya ponakan, ponakan saya punya anak namanya Iksan. Makan siang gratis. Ya, masakan bergizi gratis. Lalu satu kelas itu 8 orang langsung muntah-muntah," kata dia melalui siniar di akun YouTube pribadinya, dikutip Republika, Rabu (1/10/2025).
Menurut dia, tidak hanya Iksan dan teman-teman sekelasnya yang mengalami gejala muntah-muntah. Kakak Iksan yang duduk di kelas 6 sekolah yang sama juga mengalami gejala serupa.
"Kakaknya itu, kakak yang masih dirawat di rumah sakit itu, habis muntah-muntah sehari disuruh pulang. Bisa dirawat di rumah. Tapi yang ini (Iksan) sampai empat hari di rumah sakit. Satu sudah bisa pulang, satu masih dirawat sampai kemarin, saya masih di Jogja," kata Mahfud.
Menurut dia, kasus keracunan akibat MBG ini memang sedang terjadi perhatian publik secara nasional. Pasalnya, kasus demi kasus terus bermunculan setiap harinya.
Mahfud mengakui, angka keracunan yang terjadi memang relatif rendah dibandingkan total MBG yang telah diberikan. Mengutip pernyataan Presiden Prabowo Subianto, persentasenya hanya 0,0017 persen.
"Kecil sekali kan memang dari segi total, tapi kan juga jutaan pesawat terbang di dunia ini lalu-lalang setiap hari, kecelakaan satu aja tidak sampai 0,001 persen orang sesudah ribut. Karena itu menyangkut nyawa, menyangkut kesehatan," ujar dia.
Ia menilai, kasus keracunan akibat MBG itu bukan sekadar angka. Lebih dari itu, terdapat tata kelola pelaksanaan program itu yang mendesak untuk diperbaiki.
Mahfud mengatakan, MBG itu pada dasarnya merupakan program yang bertujuan mulia. Sebab, masih ada jutaan anak di Indonesia yang belum bisa menyantap makanan bergizi setiap hari.
"Menurut saya, program makan bergizi gratis ini adalah program yang sangat mulia dan program unggulan yang harus kita dukung bersama-sama," kata dia.
Meski begitu, perlu dilakukan perbaikan tata kelola pelaksanaan program itu. Pasalnya, masih banyak ketidakjelasan dalam pelaksanaan program MBG, terutama terkait penyelenggara dan penanggung jawab di lapangan.
"Pemerintah daerah? Enggak tahu. Karena tidak dilibatkan sejauh ini. Tidak dilibatkan. Tapi begitu ada masalah keracunan mereka yang turun," kata dia.
Ia menambahkan, pihak sekolah juga tidak tahu-menahu mengenai program tersebut. Justru, sekolah mendapatkan beban akibat program itu.
Ia mencontohkan, para guru selama ini tidak mendapatkan manfaat finansial dari program itu. Namun, beban kerja mereka bertambah karena harus menjadi panitia dan ikut membersihkan ompreng, tempat makanan untuk program MBG.
"Lalu ada yang hilang, dia suruh ganti. Padahal dia bukan panitia," ujar dia.
Ia menambahkan, dasar regulasi pelaksanaan program itu juga tidak jelas. Alhasil, tidak ada kepastian hukum dalam pelaksanaan program MBG.
"Siapa yang melakukan apa, yang bertanggung jawab ini siapa, kepada siapa, dan gitu kan. Dari siapa kepada siapa, kita kan tidak tahu. Sekolah tidak tahu-menahu juga," kata dia.
Karena ketidakjelasan itu, banyak ditemukan pengelolaan program itu tidak dilakukan secara profesional. Bahkan, pihak-pihak yang terlibat juga dinilai tidak profesional, yang menjadi salah satu penyebab keracunan banyak terjadi.
Karena itu, ia menilai, pemerintah harus membuat aturan yang jelas terkait pelaksanaan program itu di lapangan. Dengan begitu, seluruh pihak yang terlibat mendapatkan kepastian hukum.
"Kepastian hukum itu pentingnya adalah agar orang bisa memprediksi. Kalau saya melakukan ini, kalau benar ini akibatnya. Kalau saya, saya akan menerima akibat ini. Akibat perdatanya ini, akibat pidananya ini. Kan bisa. Kalau ada kepastian hukum," kata Mahfud.