TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Lembaga Sinergi Bipartit (Bipartite Institute) Sabda Pranawa Djati menyoroti penunjukan Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) Yassierli sebagai Menteri Ketenagakerjaan dan Immanuel Ebenezer Gerungan sebagai Wakil Menteri Ketenagakerjaan di Kabinet Merah Putih era Presiden Prabowo Subianto. Dia menyebut usai penunjukan keduanya muncul tanda tanya soal arah kebijakan di bidang ketenagakerjaan pada periode 2024-2029.
“Di satu sisi masih kuatnya tuntutan gerakan buruh yang terus menginginkan dicabutnya Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja. Di sisi lain adanya kepentingan kelompok pengusaha yang menginginkan fleksibilitas hubungan kerja untuk kemudahan investasi,” kata Sabda dalam keterangan tertulisnya yang diterima Tempo pada Senin, 21 Oktober 2024.
Meski demikian, Sabda berharap Kementerian Ketenagakerjaan bisa menjembatani antara dua kepentingan tersebut. “Diharapkan dapat menjadi jembatan yang efektif untuk mencari solusi bersama yang dapat diterima oleh semua stakeholder hubungan industrial,” kata dia.
Selain itu, Sabda juga mendorong Kementerian Ketenagakerjaan memaksimalkan peran dan fungsi Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional dalam menyusun perubahan regulasi yang lebih berkeadilan bagi pekerja dan pengusaha.
“Program 100 hari Kementerian Ketenagakerjaan sebaiknya diprioritaskan untuk melakukan kajian bersama, untuk perubahan regulasi turunan dari Undang-undang Cipta Kerja,” kata dia.
Sabda menyebut Yassierli yang berlatang belakang akademisi dan guru besar sekaligus Immanuel sebagai aktivis, bisa mengkaji secara objektif atas situasi ketenagakerjaan. Dia menyebut kajian itu khususnya tentang regulasi ketenagakerjaan yang saat ini berlaku.
Dua PP Turunan UU Cipa Kerja Direvisi
Sabda menyebut ada beberapa Peraturan Pemerintah (PP) yang merupakan turunan dari Undang Undang Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan yang perlu menjadi prioritas. Kebijakan itu meliputi PP Nomor 35 tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja dan PP Nomor 36 tahun 2021 yang telah diubah dengan PP Nomor 51 Tahun 2023 Tentang Perubahan Atas PP Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan.
“PP No. 35 tahun 2021 perlu segera direvisi karena sejak adanya regulasi ini, pekerja menjadi kehilangan jaminan kepastian kerja karena mudahnya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sedangkan hak atas kompensasi PHK sangat minim,” kata dia.
Sabda mengatakan perlu adanya pembatasan yang tegas terkait jenis pekerjaan yang bisa menggunakan mekanisme outsourcing dan pembatasan masa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Langkah ini disebut agar setiap pekerja bisa mendapatkan perlindungan dan jaminan kepastian kerja.
Selain itu, Sabda mengatakan pemerintah juga perlu merevisi ketentuan Pasal 52 ayat 2 PP Nomor 35 Tahun 2021. Regulasi ini mengatur alasan PHK karena pelanggaran bersifat mendesak. Akibatnya pekerja yang menerima PHK hanya diberikan kompensasi berupa uang penggantian hak dan uang pisah yang tidak ada ketentuan minimalnya.
Iklan
“Sedangkan pada Pasal 52 ayat 3 PP 35/2021 menyebutkan pengusaha dapat melakukan PHK tanpa surat pemberitahuan PHK,” kata dia.
Sabda mengatakan penjelasan Pasal 52 ayat 2 PP 35/2021 yang mengatur PHK karena pelanggaran bersifat mendesak, ternyata sama dengan ketentuan Pasal 158 ayat 1 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) yang mengatur tentang PHK karena kesalahan berat. Faktanya, kata dia, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.012/PUU-I/2003 pada 28 Oktober 2004, ketentuan Pasal 158 ayat 1 UU Nomor 13 Tahun 2003, tentang PHK karena kesalahan berat, telah diputuskan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum yang mengikat.
Sedangkan terkait dengan PP Nomor 36 Tahun 2021 yang telah diubah dengan PP No. 51 Tahun 2023 Tentang Perubahan Atas PP Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan, Sabda menyatakan pemerintah perlu merevisi dengan mengembalikan formula penghitungan upah minimum berdasar Survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL), produktivitas, dan pertumbuhan ekonomi.
“Dasar hukum terkait KHL saat ini adalah Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak, yaitu sebanyak 64 komponen. Perlu dilakukan revisi untuk perbaikan kuantitas dan kualitas KHL,” kata Sabda.
UU Cipta Kerja Tak Bisa Naikkan UMP
Sabda menyebut sejak berlakunya UU Cipta Kerja, kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan/atau Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK), tidak pernah lebih dari 10 persen. Bahkan, kata dia, pada 2021 pemerintah tidak menaikkan UMP dan/atau UMK.
Ia merincikan pada 2020 kenaikan UMP dan/atau UMK dipatok hanya 8,51 persen. Kemudian, pada 2021 pemerintah tidak menaikkan UMP dan/atau UMK karena kondisi ekonomi Indonesia dalam masa pemulihan setelah pandemi Covid-19. Sementara, pada 2022, kenaikan UMP rata-rata 1,09 persen.
Selanjutnya, pada 2023, melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023, telah membatasi kenaikan UMP tidak boleh melebihi 10 persen. Sedangkan, pada 2024, kenaikan UMP antara 1,19 persen sampai 7,5 persen.
Pilihan Editor: Komitmen Meutya Hafid jadi Menteri Komunikasi dan Digital Berantas Judi Online: Gak Boleh Kendor