
JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Status nonaktif sebagai anggota DPR RI ternyata tidak serta-merta menghentikan hak gaji dan tunjangan. Setidaknya itulah yang dialami dua pesohor yang duduk di Senayan dari Partai Amanat Nasional (PAN), Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio dan Surya Utama atau Uya Kuya.
Sejak heboh lantaran sikap mereka yang memicu kemarahan rakyat dan gilirannya terjadi gelombang demo besar-besaran, keduanya dinonaktifkan oleh partainya dari keanggotaan DPR RI.
Sekretaris Fraksi PAN, Ahmad Najib Qodratullah, mengakui keduanya tetap menerima hak keuangan meski sudah dinonaktifkan oleh partainya. Hanya saja, besaran yang diterima tergantung keputusan Majelis Kehormatan Dewan (MKD).
“Fraksi sudah menyurati MKD untuk memproses. Tunjangan dan gaji akan menyesuaikan dengan putusan MKD. Jadi sementara ini mereka masih menerima haknya,” ujar Najib, Senin (1/9/2025).
Meski begitu, Najib enggan membicarakan siapa pengganti dua artis-politikus itu jika MKD benar-benar mengesahkan penonaktifan. “Kita tunggu saja mekanismenya, jangan mendahului MKD,” ucapnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi menyampaikan bahwa partai telah resmi menonaktifkan Eko dan Uya sejak 1 September 2025. Keputusan itu diambil dengan alasan situasi nasional yang memanas dan sorotan tajam publik terhadap tingkah keduanya.
Namun, di tengah status nonaktif, publik justru menyoroti fakta bahwa Eko dan Uya tetap menerima gaji. Padahal, secara praktik mereka tidak lagi menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, maupun anggaran.
“Jadi seperti enak saja, tidak kerja tapi masih digaji. Sementara masyarakat biasa berjuang keras untuk hidup,” kritik salah satu warganet di media sosial.
Kritikan makin kencang setelah beredar fakta harta kekayaan Eko Patrio yang terbilang fantastis. Berdasarkan LHKPN per September 2024, total kekayaan Eko mencapai Rp131,52 miliar setelah dikurangi utang. Mayoritas berupa aset tanah dan bangunan senilai Rp166 miliar lebih, termasuk properti mewah di Jakarta Selatan yang dilaporkan bernilai Rp70 miliar.
Tak hanya itu, Eko juga memiliki deretan properti lain di Jakarta Timur, Bogor, hingga Nganjuk, serta enam mobil dengan nilai hampir Rp6 miliar. Ia juga menyimpan kas dan setara kas Rp8,44 miliar.
Di sisi lain, Uya Kuya pun sempat menuai kecaman publik setelah kedapatan berjoget di Gedung DPR pasca pengumuman kenaikan tunjangan perumahan Rp50 juta per bulan bagi anggota dewan. Aksi itu dianggap tidak peka di tengah kondisi masyarakat yang sedang terhimpit beban ekonomi.
Keduanya kemudian meminta maaf lewat video yang diunggah di akun Instagram masing-masing. Eko bahkan muncul bersama rekannya sesama anggota DPR dari Fraksi PAN, Pasha Ungu, untuk menyampaikan penyesalan.
“Saya dengan tulus memohon maaf atas keresahan yang timbul akibat perbuatan saya,” ujar Eko. Sementara Uya menambahkan, “Dari hati paling dalam, saya minta maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia.”
Namun permintaan maaf itu tak serta-merta meredam kemarahan publik. Bahkan, rumah Eko di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, dan kediaman Uya di Pondok Bambu, Jakarta Timur, sempat dijarah massa pada akhir pekan lalu. Sejumlah barang hilang, pagar rumah dirusak, dan dinding dicoret dengan pesan bernada kecaman.
Di tengah kontroversi ini, perdebatan hukum juga muncul. Pasalnya, dalam UU MD3 sebenarnya tidak dikenal istilah “penonaktifan” anggota DPR, melainkan “pemberhentian.” Jika mengacu aturan, pemberhentian harus diusulkan partai, diteruskan ke pimpinan DPR, hingga akhirnya diresmikan Presiden.
Dengan status “nonaktif” yang dipakai PAN, praktis Eko dan Uya justru berada di zona abu-abu: tidak bekerja sebagai wakil rakyat, tapi masih berhak atas gaji dan tunjangan. [*] Berbagai sumber
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.