JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM — Sorotan publik atas besarnya tunjangan DPR RI kian memanas. Ekonom Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menegaskan angka yang wajar untuk tunjangan rumah anggota DPR seharusnya tidak lebih dari Rp 3,2 juta per bulan per keluarga.
Hitungan itu mengacu pada data Survei Biaya Hidup (SBH) Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat pengeluaran rata-rata keluarga di Jakarta untuk perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga berada di kisaran Rp 3,2 juta. Angka tersebut jauh berbeda dengan kebijakan DPR yang menetapkan tunjangan rumah Rp 50 juta per bulan bagi tiap anggota.
“Kalau memang percaya pada data resmi BPS, maka logikanya besaran tunjangan tidak boleh lebih dari Rp 3,2 juta. Itu sudah sesuai kebutuhan dasar, bukan fasilitas mewah,” ujarnya, Selasa (2/9/2025).
Menurut Andri, standar gaji dan tunjangan parlemen sebaiknya diatur lembaga independen seperti di Inggris, yang sejak 2009 membentuk Independent Parliamentary Standards Authority (IPSA) untuk menghindari konflik kepentingan. Formula penetapan hak keuangan harus didasarkan pada indeks harga konsumen (IHK) dan median gaji pegawai negeri, bukan keputusan sepihak anggota dewan.
Kontroversi tunjangan jumbo DPR mencuat setelah anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, blak-blakan menyebut take home pay legislator bisa menembus Rp 100 juta per bulan. Dari jumlah itu, Rp 50 juta dialokasikan khusus untuk tunjangan rumah. Jika dirata-rata, gaji dan tunjangan yang diterima setara Rp 3 juta per hari.
Pernyataan tersebut langsung viral karena menyinggung rasa keadilan masyarakat. Apalagi upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta 2025 hanya Rp 5,3 juta per bulan, jauh di bawah penghasilan wakil rakyat yang mengklaim mewakili suara rakyat kecil.
Kekecewaan publik makin meledak setelah sejumlah anggota DPR berjoget-joget di Sidang Tahunan MPR, 15 Agustus lalu. Aksi yang dianggap melecehkan penderitaan rakyat itu menyulut demonstrasi besar sejak 25 Agustus hingga akhir bulan, bahkan menelan korban jiwa seorang driver ojek online, Affan Kurniawan.
Presiden Prabowo Subianto akhirnya turun tangan. Usai rapat bersama pimpinan DPR, MPR, DPD, dan ketua umum partai politik di Istana Merdeka pada Minggu (31/8), Prabowo memastikan fasilitas jumbo tersebut akan dicabut. Selain tunjangan Rp50 juta, DPR juga menghentikan kunjungan kerja ke luar negeri yang selama ini banyak menuai kritik.
“Pimpinan DPR menyampaikan kesepakatan untuk mencabut kebijakan yang menyinggung rasa keadilan masyarakat, termasuk besaran tunjangan dan moratorium perjalanan luar negeri,” tegas Prabowo.
Langkah ini diharapkan menjadi momentum pembenahan sistem keuangan parlemen, agar sesuai standar kewajaran dan tidak menimbulkan kesenjangan mencolok dengan rakyat yang mereka wakili. (*) Berbagai sumber
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.