Ekonom Soroti Penurunan Biaya Haji 2026 Rp 2 Juta

9 hours ago 9

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tahun 2026 sebesar Rp 87,4 juta per jamaah, atau turun Rp 2 juta dibandingkan tahun sebelumnya. Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menyoroti kesepakatan tersebut, dengan menekankan agar tidak terjadi penurunan layanan terhadap para jamaah haji. 

“Di atas kertas, ini kabar baik. Namun publik berhak bertanya: apakah pemangkasan biaya ini akan menurunkan mutu layanan? Dan adakah kaitannya dengan efisiensi anggaran kementerian lain? Pertanyaan tersebut penting karena BPIH bukan sekadar angka, ia menyangkut martabat pelayanan, rasa aman, dan pengalaman ibadah jutaan warga,” ujar Achmad dalam keterangannya, dikutip Ahad (2/11/2025). 

Tidak ada kode iklan yang tersedia.

Achmad berpandangan, penurunan biaya hanya akan sehat bila bersumber dari efisiensi struktural, seperti pengadaan yang transparan, kontrak yang kompetitif, dan proses yang rapi. Bukan dari memangkas layanan inti yang dirasakan langsung jamaah. 

“Gagasan jawabannya: kita bisa menurunkan biaya tanpa menurunkan mutu dengan mengunci standar layanan, membuka data biaya, dan mengelola ‘nilai manfaat’ secara hati-hati,” kata dia. 

Dalam struktur sekarang, biaya perjalanan ibadah haji (bipih) yang dibayar jamaah sekitar Rp 54,19 juta, sisanya ditopang nilai manfaat yang dikelola Badan Pengelola Keuanga Haji (BPKH). Menurut Achmad, penurunan Rp 2 juta harus jadi momentum memperbaiki tata kelola, bukan sekadar menambal selisih dari dana manfaat.

Achmad menekankan, di dalam penyelenggaraan haji, ada enam layanan yang diperhatikan. Yakni, jarak dan kualitas pemondokan di Makkah–Madinah, ketepatan dan kenyamanan transportasi, kualitas konsumsi, keselamatan dan kenyamanan di Arafah–Muzdalifah–Mina, layanan kesehatan yang responsif, serta kepastian logistik living cost

“Bila penurunan biaya menyasar inefisiensi, misalnya duplikasi proses, kontrak yang tidak kompetitif, atau pengaturan rute bus yang boros, maka jamaah tak semestinya merasakan penurunan layanan,” tuturnya. 

Kuncinya yakni ada pada indikator yang terukur dan diawasi publik. Standar layanan/Service Level Agreement (SLA) perlu dipublikasikan sebelum keberangkatan. 

Mulai dari radius hotel dari Masjidil Haram, waktu tempuh bus antartitik, suhu dan kepadatan tenda Mina, rasio tenaga medis per seribu jamaah, waktu respons medis, hingga kualitas dan higienitas konsumsi. Lalu selama operasional, tampilkan dashboard harian yang memperlihatkan capaian dan pelanggaran SLA. 

Lalu, kontrak harus berbasis kinerja—ada bonus bila melampaui standar, ada penalti bila terlambat atau di bawah mutu. Selain itu, aktifkan umpan-balik jamaah melalui aplikasi resmi agar keluhan yang sahih menjadi data perbaikan near real-time. Dengan berbagai komponen tersebut, efisiensi biaya dinilai akan terasa sebagai pembenahan, bukan pengurangan. 

Korelasi dengan Efisiensi Kementerian Lain

Achmad menuturkan, secara akuntansi, BPIH bukan pos belanja lintas kementerian yang bisa dipindah-pindah. Namun secara ekosistem, itu sangat dipengaruhi kebijakan sektor lain. 

Harga dan ketersediaan avtur terkait kebijakan energi dan BUMN, slot bandara, biaya navigasi, dan ground handling bersinggungan dengan Kementerian Perhubungan dan operator kebandarudaraan. Kemudian, kerja sama antarnegara mempengaruhi harga tenda dan akomodasi di Saudi, dan aspek kesehatan berkorelasi dengan kesiapan Kementerian Kesehatan. 

“Maka korelasi yang relevan adalah policy linkage, bukan transfer anggaran: semakin efisien dan transparan sektor-sektor tersebut, semakin terkendali tekanan biaya haji. Saya menekankan coordination gains. Sinkronisasi perencanaan penerbangan, logistik darat, dan layanan kesehatan akan mengurangi waktu tunggu, membaikkan turnaround, serta memangkas biaya tersembunyi,” jelasnya. 

Achmad mengatakan, kompetisi katering yang sehat dan time slot yang presisi di bandara dapat menghasilkan kontrak lebih efisien tanpa mengorbankan mutu. Jadi, meski tidak linier, penyesuaian biaya haji dapat berjalan seiring dengan perbaikan efisiensi di kementerian lain melalui koordinasi dan transparansi biaya.

Lebih lanjut, Achmad menuturkan, keberlanjutan finansial haji bertumpu pada dua pilar, yakni disiplin biaya dan kinerja investasi nilai manfaat. Di tahun ketika kurs melemah atau harga avtur naik, nilai manfaat berperan sebagai peredam guncangan. 

Namun peredam tersebut dinilai tidak boleh menjadi ‘selimut nyaman’ yang menutupi kebocoran proses. Oleh sebab itu, penurunan biaya haji Rp 2 juta harus ditautkan pada perubahan kerja yang spesifik: renegosiasi kontrak berbasis benchmark regional, konsolidasi penyedia jasa, optimasi rute transportasi, dan digitalisasi end-to-end dari manifest penerbangan hingga distribusi konsumsi.

“Publik berhak tahu komposisi biaya, berapa porsi akomodasi, transportasi, konsumsi, Armuzna, layanan kesehatan, dan overhead, agar perdebatan bergeser dari ‘katanya turun’ menjadi ‘terbukti efisien’,” ungkapnya.

Achmad merekomendasikan empat langkah praktis mengenai persoalan tersebut. Pertama, tetapkan dan umumkan SLA yang mudah dipahami jamaah.  Kedua, sediakan dashboard harian selama operasional untuk menunjukkan capaian layanan. 

Ketiga, terapkan open contracting data untuk akomodasi, transportasi, dan catering, dengan mengumumkan pemenang, nilai kontrak, dan evaluasi pascapelaksanaan.  Keempat, lakukan after-action review independen yang mengaitkan penghematan dengan perbaikan proses secara rinci.

“Jika resep ini konsisten dijalankan, pengurangan Rp 2 juta hari ini menjadi awal tradisi baru: biaya yang rasional, layanan yang naik kelas, dan tata kelola yang membuat publik tenang,” katanya.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |