TEMPO.CO, Jakarta - Mantan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Praswad Nugraha mengkritisi keputusan eks juru bicara KPK Febri Diansyah menjadi tim hukum Hasto Kristiyanto. Pilihan itu, menurut Praswad, menunjukkan level integritas Febri.
Praswad mengatakan, langkah Febri menjadi kuasa hukum Hasto Kristiyanto tentu merupakan pilihan pribadi. Namun, kata dia, Febri mengetahui peristiwa operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Harun Masiku yang gagal di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) kala itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Bagaimana situasi teror yang dialami tim penyelidik dan penyidik KPK di lapangan, diintervensi. Bahkan dicoba untuk dikriminalisasi dan difitnah saat sedang melaksanakan shalat di masjid PTIK," ujar Praswad melalui keterangan tertulis, Kamis, 13 Maret 2025.
Oleh karena itu, dia menyebut Febri menunjukkan level integritasnya secara tersirat melalui keputusan itu. "Hal tersebut menyiratkan di level mana integritas yang bersangkutan sesungguhnya," kata Praswad.
Terlebih, kata dia, masih kental di ingatan para penyelidik dan penyidik KPK pada 2019, ketika Hasto merupakan pihak yang aktif mendukung keputusan mantan pesiden Joko Widodo melemahkan KPK melalui revisi UU KPK. Pada akhirnya, 57 penyidik dan pegawai KPK disingkirkan secara bengis dengan melanggar hak asasi manusia.
Di sisi lain, Praswad menilai langkah Febri menjadi kuasa hukum Hasto menambah daftar jejaknya dalam keberpihakan kepada tersangka korupsi. Sebelumnya, kata dia, Febri pernah berhadapan dengan KPK di pengadilan saat menjadi kuasa hukum Syahrul Yasin Limpo yang pada akhirnya terbukti bersalah.
"Di sini bisa dilihat bahwa konstruksi pembuktian unsur perkara tindak pidana korupsi tidak bisa dilawan dengan pencitraan dan jualan dongeng cerita romantika saat menjadi jubir KPK," kata Praswad.
Dia mengingatkan, Febri harus menggarisbawahi bahwa dia tidak pernah menjadi penyidik maupun penyelidik. Artinya, tidak pernah melaksanakan proses penyidikan, penyelidikan, serta pengumpulan alat bukti saat bekerja menjadi pegawai KPK.
Semua yang disampaikan Febri terkait dakwaan Hasto, menurut Praswad justru menegaskan bahwa kehadirannya tidak memberikan nilai tambah dalam pembelaan di persidangan. Dia menuding Febri hanya mengedepankan pencitraan.
"Kehadiran yang bersangkutan tidak memberikan nilai tambah dalam pembelaan Hasto di persidangan, karena pencitraan dan misleading informasi kepada publik tidak pernah mengalahkan kebenaran fakta serta kelengkapan alat bukti yang dimiliki oleh KPK dalam perkara ini," ujarnya.
Meskipun tidak pernah menjabat sebagai penyidik KPK dan tidak pernah menyusun konstruksi pembuktian perkara selama bekerja di KPK, namun Praswad mengingatkan agar Febri tidak menyalahgunakan predikat sebagai eks pegawai KPK.
"Yang bersangkutan tetap memiliki kewajiban moral untuk tidak menggunakan predikat mantan pegawai sebagai tiket untuk membela koruptor demi kepentingan pribadi," tuturnya.
Sebelumnya, Febri mengatakan bahwa nama Hasto tidak disebut dalam putusan pengadilan terhadap tiga terdakwa yang terlibat dalam kasus ini. Tiga orang itu adalah mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan, eks anggota Badan Pengawas Pemilu Agustiani Tio Fridelina, dan eks kader PDI-P Saeful Bahri.
“Dalam putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap untuk tiga orang terdakwa tersebut, sebenarnya sangat jelas tidak ada peran Pak Hasto Kristiyanto yang kemudian bisa membuat Pak Hasto dijerat sebagai pemberi suap,” ucap Febri kepada awak media kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat, Rabu, 12 Maret 2025.
Febri Diansyah mengklaim, pengadilan telah memutuskan bahwa seluruh sumber dana yang diberikan kepada Wahyu Setiawan bersumber dari Harun Masiku. Dia meyakini kasus yang menyeret Hasto ini harus diuji secara rinci di persidangan nanti.
Berdasarkan laporan Majalah Tempo edisi 5 Januari 2025 berjudul “Beking KPK Berani Menjerat Hasto Kristiyanto", sejumlah eks penyidik bercerita bahwa mereka sudah membidik Hasto setelah menangkap Wahyu Setiawan di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Namun, mantan Ketua KPK Firli Bahuri keburu mengadakan konferensi pers saat penyidik bersiap menangkap Hasto dan Harun Masiku. Akhirnya, penangkapan itu gagal.