TEMPO.CO, Jakarta - Pada 2030 nanti, umat Muslim akan bertemu bulan Ramadan dua kali dalam satu tahun. Guru Besar Fisika Teori IPB University Husin Alatas menjelaskan momen langka itu berpangkal dari perbedaan 10,88 hari antara tahun matahari (kalender Masehi) dan tahun lunar (kalender Hijriah). Tahun Masehi berlangsung selama 365,24 hari, sementara panjang tahun lunar dalam kalender Hijriah 354,36 hari.
“Karena perbedaan panjang hari tersebut, maka terdapat peluang tanggal satu bulan Hijriah tertentu dapat terjadi dua kali dalam satu tahun matahari, termasuk bulan Ramadan. Dan berdasarkan perhitungan, pada 2030 mendatang, akan ada dua tanggal satu Ramadan,” kata Husin melalui keterangan tertulis, Minggu 30 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebenarnya, menurut pendekatan ilmu fisika, Husin menuturkan, besaran waktu merupakan sebuah misteri yang belum dapat diungkap penjelasannya secara memadai. Meski begitu, dia menambahkan, bagi manusia, waktu merupakan sesuatu yang nyata dirasakan setiap hari, yang dirasakan melalui kehadiran perubahan di semua aspek kehidupan. Termasuk perubahan yang terkait dengan fenomena alam tertentu.
Itu sebabnya, telah sejak dulu dikenal cara untuk mengukur waktu dengan memanfaatkan fenomena alam yang bersifat periodik, yaitu pergerakan semu matahari. Cara ini disebut Husin tradisional, yakni rotasi bumi menjadi dasar penentuan waktu harian. Adapun revolusi bumi mengelilingi matahari menghasilkan gerak semu matahari yang digunakan untuk penentuan waktu tahunan dan pergantian bulan.
Begitu juga dengan kalender lunar seperti kalender Hijriah. "Gerak periodik bulan juga telah lama digunakan untuk penentuan waktu tahunan," kata pengampu mata kuliah Mekanika Lagrange-Hamilton di Departemen Fisika IPB University ini menambahkan.
Adapun saat ini, Husin mengurai, penentu waktu yang sangat akurat dan presisi adalah jam kisi optik yang memanfaatkan transisi frekuensi optik pada atom-atom seperti Ytterbium (Yb), Strontium (Sr) ataupun Aluminum (Al). “Penentuan satuan waktu yang akurat memanfaatkan pola turun-naik level energi elektron pada atom-atom tersebut yang sangat stabil,” ujarnya.
2 Gerak Periodik Bulan di Kalender Hijriah
Berdasarkan penampakannya, gerak periodik bulan dapat diklasifikasikan menjadi gerak periodik sideral dan sinodik. Menurut dia, gerak sideral bulan adalah gerak revolusi bulan mengelilingi bumi yang diukur berdasarkan posisi relatifnya terhadap objek tetap langit (seperti bintang, galaksi, atau kuasar).
“Satu periode sideral diukur ketika bulan kembali pada posisi semula setelah mengelilingi bumi dan lamanya sekitar 27,32 hari. Sementara pada periode sinodik yang dijadikan patokan satu gerak revolusi adalah melalui penampakan fase-fase bulan dengan lama 29,53 hari,” katanya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, orbit bulan berbentuk elips yang mengelilingi bumi dengan kemiringan sekitar 5,1 derajat terhadap bidang orbit bumi saat mengelilingi matahari. Kemiringan inilah yang kemudian menyebabkan adanya fase-fase bulan, mulai dari bulan baru, sabit muda, purnama, hingga sabit tua.
“Perbedaan antara lama periode sideral dan sinodik terletak pada fakta bahwa selain mengorbit bumi, bulan juga mengikuti gerak orbit bumi mengelilingi matahari,” ucapnya.
Saat bulan baru, bulan berada segaris dengan matahari dan bumi (konjungsi). Ketika bulan mulai bergeser sedikit dari posisi ini, pengamat di bumi dapat melihat sedikit cahaya matahari yang terpantul dari sebagian kecil permukaan bulan. Pantulan ini kemudian menghilang kembali seiring perubahan posisi pengamat.
“Pantulan tipis cahaya matahari pada fase bulan baru inilah yang lazim dikenal sebagai hilal yang menjadi penentu awal bulan kalender lunar/Hijriah,” katanya.