JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Meski santer disuarakan oleh para pakar, sejarawan dan aktivis bahwa Soeharto tidak memenuhi kriteria sebagai pahlawan nasional, namun Menteri Kebudayaan Fadli Zon tetap mengklaim bahwa mantan presiden terlama di Indonesia tersebut tidak terlibat korupsi dan pelanggaran HAM.
Fadli menyebut berbagai tuduhan terhadap Soeharto selama ini hanya sebatas dugaan yang tidak pernah terbukti secara hukum. Menurut dia, tidak ada satu pun perkara yang secara sah mengaitkan Soeharto dengan tindakan korupsi maupun pelanggaran hak asasi manusia.
“Seperti yang Anda bilang, itu hanya dugaan. Tapi dugaan kan tidak pernah terbukti juga,” ujar Fadli di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (10/11/2025). Ia menegaskan, “(Korupsi dan pelanggaran HAM?) Tidak, tidak ada juga.”
Politikus senior itu menambahkan, semua isu hukum yang sempat menyeret nama Soeharto sudah ditangani sesuai prosedur dan dinyatakan tidak berkaitan langsung dengan mantan presiden yang berkuasa selama lebih dari tiga dasawarsa tersebut. “Segala tuduhan terhadap beliau sudah melalui proses hukum dan tidak terbukti. Semua sudah selesai,” tegasnya.
Fadli juga menampik anggapan bahwa peristiwa kerusuhan Mei 1998 memiliki kaitan dengan Soeharto. Ia berpendapat, keputusan pemerintah untuk menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto sudah melalui tahapan penilaian yang panjang dan tidak bermasalah secara hukum. “Prosesnya dari bawah, sudah melalui mekanisme resmi. Tidak ada persoalan hukum di dalamnya,” jelasnya.
Dalam upacara yang digelar di Istana Negara, Presiden Prabowo Subianto resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto bersama sembilan tokoh lainnya. Penganugerahan itu dituangkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional yang dibacakan oleh Sekretaris Militer, Laksda TNI Wahyu Yudhayana.
Namun, keputusan itu memicu kritik tajam dari sejumlah kalangan. Kepala Divisi Advokasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, menilai pemberian gelar tersebut justru mencederai semangat reformasi. Ia menyebut, reformasi 1998 sejatinya bertujuan untuk mengadili Soeharto beserta kroninya atas dugaan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
“Penganugerahan ini simbol kematian reformasi. Soeharto tidak pantas menyandang gelar Pahlawan Nasional karena agenda reformasi untuk menegakkan keadilan terhadapnya tidak pernah terwujud,” kata Egi dalam keterangan tertulisnya, Senin (10/11/2025).
Menurut Egi, Soeharto memang tidak pernah diadili atas berbagai tuduhan kejahatan, dan penegakan hukum atas kasus-kasus yang berkaitan dengan kekuasaan Orde Baru tidak pernah benar-benar tuntas.
Sementara itu, Siti Hardijanti Rukmana atau Tutut Soeharto menilai masyarakat kini sudah cukup bijak untuk menilai jasa ayahandanya. Ia menyebut keluarga tidak merasa perlu memberikan pembelaan apa pun. “Saya rasa rakyat makin pintar. Mereka bisa menilai sendiri apa yang dilakukan Pak Harto. Kami tidak perlu membela diri,” ujar Tutut usai upacara penganugerahan di Istana Negara.
Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, menegaskan bahwa pemberian gelar tersebut merupakan bentuk penghormatan negara terhadap jasa para pemimpin terdahulu. “Ini adalah cara kita menghargai para pendahulu bangsa. Apa pun perdebatan yang ada, jasa mereka bagi negara tetap luar biasa,” ucap Prasetyo. [*] Disarikan dari sumber berita media daring
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

















































