JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM — Satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dinilai membawa tren negatif bagi agenda pemberantasan korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyampaikan catatan kritis tersebut dalam laporan evaluasi tahunan yang dipaparkan di Jakarta, Selasa (18/11/2025).
Peneliti ICW, Yassar Aulia, menyebut bahwa berbagai aksi penindakan hukum yang ditampilkan pemerintah, termasuk penyitaan triliunan rupiah dalam perkara korupsi Crude Palm Oil (CPO), belum mencerminkan perbaikan secara substansial. Ia menilai capaian-capaian itu hanya bersifat seremonial dan tidak menyentuh akar persoalan tata kelola kekuasaan.
Menurut Yassar, sejumlah indikator justru menunjukkan pemburukan. ICW mengidentifikasi tiga pola prakondisi yang dianggap memperlemah upaya pemberantasan korupsi sepanjang satu tahun terakhir, yaitu:
- Normalisasi konflik kepentingan dalam proses politik dan pemerintahan,
- Menguatnya dominasi kekuasaan eksekutif, serta
- Kuatnya patronase dan kronisme, termasuk praktik bagi-bagi posisi yang dinilai semakin terang-terangan.
“Proses yang dibangun sejak Reformasi 1998 pelan-pelan direduksi hanya dalam waktu singkat. Kondisinya kini justru makin mundur,” ujar Yassar.
ICW menyoroti penyusunan Kabinet Merah Putih, yang dinilai diwarnai pertimbangan balas jasa politik. Rangkap jabatan sejumlah wakil menteri juga dinilai sebagai bentuk konflik kepentingan yang dibiarkan.
Di sisi lain, penggunaan diskresi eksekutif melalui Peraturan Presiden maupun Instruksi Presiden disebut meningkat dan dilakukan tanpa mekanisme pengawasan yang memadai. “Instruksi atau peraturan presiden banyak muncul, dibuat sepihak, namun berpengaruh besar terhadap tata kelola negara,” ucap Yassar.
ICW juga mengkritik intervensi presiden dalam perkara hukum. Yassar menilai Presiden Prabowo menjadi yang pertama memberikan amnesti dan abolisi untuk kasus korupsi, bahkan sebelum perkara memperoleh putusan berkekuatan hukum tetap. Ia menyebut langkah ini berpotensi politis dan melemahkan independensi aparat penegak hukum.
“Hal ini memberi pesan bahwa proses hukum dapat diambil alih sewaktu-waktu oleh presiden melalui diskresi politik. Itu sangat berbahaya,” tegasnya.
Selain itu, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto juga menjadi salah satu sorotan ICW. Menurut Yassar, pemberian gelar tersebut dianggap mengaburkan rekam jejak korupsi sistemik pada masa Orde Baru.
“Residunya masih kita rasakan sampai sekarang. Karena itu, keputusan tersebut sama saja memutihkan sejarah korupsi, kolusi, dan nepotisme di era sebelumnya,” ujarnya.
ICW menilai keseluruhan langkah tersebut menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi tidak menjadi prioritas strategis pemerintahan Prabowo-Gibran, bahkan cenderung mengalami kemunduran signifikan. [*] Disarikan dari sumber berita media daring
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.













































