Industri Televisi Terpuruk, Disrupsi Digital Picu PHK

5 hours ago 8

TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat bisnis dan pemasaran, Yuswohady, menilai paceklik yang melanda industri media televisi dipicu perubahan drastis pola konsumsi masyarakat dalam mengakses tayangan. Ia menjelaskan, perubahan ini terjadi sejak platform media sosial seperti TikTok, YouTube, dan Instagram memperkenalkan format video pendek yang berbasis algoritma.

Fenomena tersebut mendorong pergeseran besar dari konsumsi berbasis waktu (scheduled viewing) ke konsumsi berbasis algoritma. “Inilah yang menyebabkan televisi konvensional kehilangan daya tariknya,” kata Yuswohady saat dihubungi Tempo, Senin, 5 Mei 2025.

Menurutnya, dahulu televisi membentuk kebiasaan menonton masyarakat berdasarkan jadwal seperti prime time pada pukul tujuh malam atau tayangan siang pada pukul dua belas. Kini, situasinya terbalik: berita dan konten justru aktif mencari penonton melalui algoritma. “Sekarang pengguna bisa mengakses konten kapan saja, dan platform seperti TikTok, YouTube, serta Netflix menggunakan algoritma untuk mempelajari preferensi individu” ujarnya.

Hal ini menurut Yuswohady menciptakan pengalaman pengguna yang sangat personal. "Kalau saya suka politik, maka algoritma akan terus menyajikan konten politik. Konsumen sekarang dikuasai oleh algoritma dan bisa menonton 24 jam melalui gawai," tambah dia.

Di sisi lain, saat ini televisi juga kalah dalam efisiensi biaya produksi. Yuswohady mencontohkan kanal YouTube atau kreator konten dapat memproduksi tayangan dengan anggaran minim, sedangkan televisi masih mengandalkan model produksi lama yang mahal dan melibatkan banyak tenaga kerja. “Bandingkan dengan Deddy Corbuzier yang hanya membutuhkan ruangan kecil dan beberapa kru untuk membuat podcast, tapi bisa bersaing dengan TV dari sisi pendapatan iklan,” katanya.

Selain faktor efisiensi, Yuswohady menyoroti perbedaan budaya antara media lama dan media baru. “Budaya TikTok berbeda dengan budaya TV. Televisi masih didominasi cara pikir generasi X dan boomer, sementara TikTok dan YouTube dijalankan oleh Gen Z yang memiliki pola interaksi berbeda,” ucapnya.

Ia menambahkan, meski televisi dapat memindahkan kontennya ke platform digital, tantangan utamanya adalah pemahaman terhadap budaya dan perilaku pengguna media sosial. “TV bisa saja masuk ke YouTube atau TikTok, tapi kalau tidak memahami perilaku konsumennya, tetap tidak akan nyambung,” katanya.

Namun, di tengah disrupsi besar-besaran oleh media sosial, Yuswohady menilai masih ada peluang bagi media konvensional untuk bertahan. Kuncinya adalah pemahaman budaya digital dan efisiensi produksi. “Kontennya jangan hanya dipindahkan ke YouTube atau TikTok dengan pola pikir lama. Harus dipahami dulu bagaimana perilaku konsumen di media sosial,” ujarnya.

Ia mencontohkan keberhasilan Tempo dalam menyajikan konten video serius namun tetap relevan di platform digital. “Tempo itu kan kontennya serius. Tapi dia bisa masuk dengan gaya yang disesuaikan, seperti Bocor Alus. Itu contoh sukses,” ujarnya.

Karena itu, menurut Yuswohady, kualitas konten tetap harus dijaga, tetapi dengan biaya produksi yang lebih efisien. “Kontennya harus tetap bagus, tapi cost-nya harus rendah. Studio besar dan ratusan karyawan tidak efisien lagi. Sekarang eranya demokratisasi produksi konten,” ucapnya.

Melihat tantangan yang dihadapi media televisi saat ini, Yuswohady memprediksi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan pengecilan aset fisik akan menjadi konsekuensi logis. “PHK dan pindah kantor itu wajar. Itu bentuk adaptasi terhadap lanskap baru. Yang penting adalah tetap relevan dengan audiens yang kini lebih banyak di dunia digital,” katanya.

Sepanjang 2023 hingga 2024, Dewan Pers mencatat sekitar 1.200 karyawan media, termasuk jurnalis, mengalami PHK. Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menyebutkan penyebab utamanya adalah penurunan pendapatan media dari tahun ke tahun. “Sekitar 75 persen pendapatan iklan nasional saat ini dikuasai oleh platform digital global dan media sosial, sehingga banyak media lokal kehilangan sumber pemasukan,” katanya.

Ninik mendesak pemerintah memberikan perhatian serius terhadap keberlangsungan industri media yang tengah berada dalam tekanan akibat disrupsi digital. Ia menekankan pentingnya dukungan terhadap kesehatan bisnis media, kesejahteraan wartawan, dan keselamatan jurnalis. “Kami meminta pemerintah memberikan atensi sungguh-sungguh terhadap kondisi media saat ini. Bukan hanya soal bisnisnya, tapi juga kesejahteraan dan keselamatan para jurnalis,” ujarnya.

Menurut Ninik, pola kerja sama antara pemerintah dan media juga perlu dievaluasi. Ia menyoroti kecenderungan belanja iklan pemerintah yang lebih banyak dialokasikan ke media sosial atau kreator konten. “Kalau saya boleh meminta, ubah cara bekerja sama. Jangan hanya menggunakan biaya iklan untuk media sosial atau YouTuber. Alokasikan juga anggaran untuk media konvensional. Tapi dengan catatan penting: beritanya jangan dibeli,” tegasnya.

Meski begitu, Ninik menekankan pentingnya menjaga pemisahan antara kepentingan bisnis dan ruang redaksi. “Pemerintah harus ikut menjaga pagar api. Pastikan bahwa kontrak atau kerja sama tidak mengintervensi isi berita, karena itu adalah suara rakyat,” kata dia.

Pilihan editor: Masa Paceklik Industri Media. Mengapa dan Sampai Kapan?

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |