TEMPO.CO, Jakarta - Hujan ekstrem dari Badai Boris telah menyebabkan banjir parah di Eropa Tengah dan Timur pada September lalu. Hujan mungkin tak se-ekstrem itu, dan intensitasnya berkurang hampir sembilan persen, jika tak terjadi pemanasan global seperti saat ini.
Skenario itu berdasarkan hasil analisis tim peneliti di Alfred Wegener Institute (AWI). Mereka, seperti dijelaskan dalam Jurnal Communications Earth & Environment, menggunakan teknik pemodelan baru yang menyediakan cara untuk melacak jejak perubahan iklim pada peristiwa cuaca ekstrem secara real time.
Badai Boris menabur hujan lebat di Polandia, Republik Ceko, Austria, dan Rumania pada pertengahan September lalu. Dampaknya, banjir besar yang menewaskan sedikitnya 27 orang dan menyebabkan banyak keluarga mengungsi. Badai Boris menghasilkan salah satu curah hujan tertinggi yang pernah tercatat di beberapa wilayah itu.
Sementara pembersihan sisa banjir berlangsung, penyelidikan publik dan media fokus kepada apakah perubahan iklim global berperan dalam bencana tersebut. “Selama beberapa tahun terakhir, sains telah mampu memberikan jawaban yang kuat untuk pertanyaan yang benar-benar valid ini,” kata Marylou Athanase, fisikawan iklim di AWI, yang dikutip dari situs earth.com, Sabtu, 23 November 2024.
Marylou menunjuk studi atribusi probabilistik yang bisa digunakan untuk menarik kesimpulan awal tentang seberapa besar kemungkinan perubahan iklim menjadi pemicunya. “Bahkan paling cepat satu atau dua minggu setelah peristiwanya," kata dia.
Namun, diakui, menjelaskan probabilitas ini kepada publik sering kali terbukti sulit. Studi probabilistik, meskipun berharga, mungkin kurang jelas saat menghubungkan tren iklim global dengan peristiwa cuaca tertentu. “Itulah sebabnya kami di AWI telah bekerja keras untuk mendorong cara yang benar-benar baru, yakni pendekatan 'alur cerita',” kata anggota tim peneliti, Antonio Sánchez-Benítez.
Dijelaskannya kalau tim pada dasarnya menerapkan prinsip 'bagaimana jika?'. "Seperti apakah bencana yang akan terjadi di dunia tanpa perubahan iklim? Dan bagaimana dengan iklim yang lebih hangat?” kata Antonio menambahkan.
Dengan menggunakan Badai Boris sebagai studi kasus, tim peneliti AWI menggambarkan kekuatan pendekatan baru ini. Analisis mereka menunjukkan bahwa, jika bukan karena perubahan iklim, Badai Boris akan menghasilkan intensitas hujan sekitar sembilan persen lebih ringan.
Tim penyelamat dari negara-negara tetangga Bosnia dan negara-negara Uni Eropa bergabung dalam upaya membersihkan puing-puing dan menemukan orang-orang yang masih hilang akibat banjir dan tanah longsor, setelah Bosnia meminta bantuan UE. REUTERS/Amel Emric
Dalam perjalanannya dari bagian timur Laut Tengah menuju Eropa Tengah, Badai Boris disebutkan bertambah intens saat bertemu suhu udara yang sekitar dua derajat Celsius lebih hangat daripada tingkat pra-industri, yang meningkatkan uap air di atmosfer.
Output selisih sebesar sembilan persen mungkin terdengar sedikit. Namun, para peneliti menyebut angka itu dapat membuat perbedaan signifikan di wilayah yang bermasalah dengan kapasitas sungai, bendungan, atau sistem drainase.
Data Angin Aktual dalam Model
Salah satu tantangan utama dalam pemodelan iklim adalah menghubungkan secara akurat model iklim jangka panjang dengan kondisi aktual yang diamati dari peristiwa cuaca tertentu. Untuk mengatasi hal ini, tim menggunakan proses yang disebut 'nudging' di mana data angin aktual, termasuk informasi aliran jet, dimasukkan ke dalam model untuk menyelaraskannya lebih dekat dengan kondisi dunia nyata.
“Model iklim biasanya mensimulasikan rangkaian kondisi cuaca yang spesifik dan semi-acak,” kata Helge Gößling, seorang fisikawan iklim dan kepala penelitian skema pemodelan 'alur cerita' di AWI. Sedang yang dilakukan tim, kata dia, menginput data angin yang benar-benar diamati ke dalam model, dan mendorong model sedikit ke arah angin yang sebenarnya diamati. "Dengan cara ini, kami dapat secara akurat mereproduksi cuaca nyata dalam iklim nyata."
Dalam model mereka, para peneliti AWI dapat mensimulasikan dunia sebelum perubahan iklim dengan mengurangi tingkat gas rumah kaca dan menyesuaikan variabel lainnya. Dengan menjalankan kembali skenario tersebut, mereka menghasilkan perbandingan antara iklim saat ini dan iklim hipotetis. Pendekatan itu memungkinkan para ilmuwan untuk mengukur pengaruh pemanasan global pada peristiwa tertentu, mulai dari badai ekstrem hingga pola cuaca yang lebih umum.
Para peneliti menggunakan model iklim AWI versi CMIP6, yang berkontribusi pada Laporan Penilaian Keenam IPCC, yang menggabungkan data angin waktu nyata dari Pusat Prakiraan Cuaca Jangka Menengah Eropa (ECMWF). “Kami telah otomatisasi sistem tersebut hingga ke titik di mana analisis harian mengenai cuaca terkini dijalankan pada superkomputer di Pusat Komputasi Iklim Jerman (DKRZ),” kata Marylou.
Hasilnya kemudian tersedia untuk umum di platform daring AWI. Alat ini, yang diperbarui dengan jeda tiga hari dari waktu sebenarnya, menyediakan akses kepada pengguna ke peta dan garis waktu interaktif yang menunjukkan "Sinyal Perubahan Iklim Hari Ini" untuk peristiwa cuaca ekstrem dan harian di seluruh dunia.
Dengan menawarkan cara visual dan interaktif untuk meneliti pengaruh perubahan iklim, AWI berharap dapat menjembatani kesenjangan antara ilmu iklim yang kompleks dan pemahaman publik. Untuk saat ini, alat tersebut melacak data suhu dan curah hujan mulai Januari 2024, yang memungkinkan pengguna menjelajahi dampak iklim pada peristiwa cuaca terkini.
“Tujuan kami adalah untuk meningkatkan pemahaman yang lebih baik tentang hubungan antara perubahan iklim dan peristiwa cuaca ekstrem, dan untuk memberikan jawaban yang konkret dan tepat waktu yang juga dapat digunakan dalam liputan media tentang peristiwa ini,” kata Marylou menambahkan.