Isteri Superior Jadi “Ancaman”? Ini Trik Menghadapinya dengan Bijak

2 weeks ago 36
Ilustrasi | freepik

JOGLOSEMARNEWS.COM – Ada kalanya dinamika rumah tangga terasa seperti panggung sandiwara kecil: satu adegan di mana pasangan tampak memimpin, satu adegan di mana yang lain menyesuaikan. Ketika isteri menampilkan sikap “superior”,  cepat mengambil keputusan, vokal soal standar hidup, atau tampil percaya diri melebihi biasanya, maka reaksi pertama bisa berupa  kagum, bangga, atau malah canggung, bahkan tersinggung.

Sebelum menyimpulkan bahwa sikap itu “buruk” atau “menakutkan”, santai dulu. Banyak riset hubungan dan konseling pernikahan menegaskan bahwa kualitas komunikasi dan kedekatan emosional jauh lebih menentukan kebahagiaan rumah tangga ketimbang siapa yang lebih dominan saat membuat keputusan.

Artinya, masalahnya bukan “siapa lebih superior”, melainkan bagaimana kalian berdua menjembatani perbedaan gaya itu agar tetap saling menghargai. Berikut beberapa trik praktis,  dengan nuansa empati dan teknik komunikasi,  yang bisa dicoba suami ketika menghadapi isteri yang superior:

  1. Baca dulu konteksnya, jangan langsung bereaksi
    Kadang “superior” cuma tampak demikian karena isteri sedang menunjukkan kompetensi atau sedang mengambil alih di area yang memang dikuasainya (misalnya keuangan keluarga, karier, pengasuhan). Menilai niat sebelum memberi respons membantu agar reaksi tidak emosional dan menghindari konflik yang tak perlu. Penelitian tentang gaya komunikasi pasutri menunjukkan bahwa respon kooperatif dan penuh empati cenderung memperbaiki masalah lebih cepat daripada reaksi defensif.
  2. Pakai “I-statements” dan bukan tuduhan
    Daripada bilang “Kamu sok tahu!” lebih efektif mengatakan, misalnya, “Aku merasa tidak dilibatkan kalau keputusan dibuat langsung. Bisa kita bicarakan dulu?” Teknik ini, yang disarankan dalam pendekatan komunikasi tanpa kekerasan, mengurangi defensif dan membuka pintu dialog.
  3. Buat ruang untuk pujian yang tulus
    Kalimat sederhana seperti “Kamu hebat ngatur acara keluarga, itu bikin aku lega” tidak melemahkan posisi suami — justru memperkuat ikatan. Seorang psikolog klinis menekankan pentingnya membangun “fondasi persahabatan” dalam rumah tangga melalui pengakuan kecil sehari-hari. Pengakuan ini juga meredam kecenderungan superior menjadi atasan yang dingin.
  4. Ajukan pilihan atau tawaran kerja sama, bukan tantangan
    Jika isteri cenderung mengambil keputusan sendiri, coba tawarkan pilihan konkret: “Kalau kamu setuju, aku bisa bantu bagian X; kalau tidak, aku siapkan alternatif Y.” Strategi kolaboratif ini mengikuti prinsip bahwa sebagian besar masalah pernikahan lebih baik dikelola daripada diselesaikan sekali untuk selamanya.
  1. Pahami bahasa emosi di balik sikapnya
    Berdasarkan teori keterikatan dan terapi emosional, sikap tegas dan dominan kadang menutupi kecemasan atau kebutuhan untuk merasa kompeten. Mengajukan pertanyaan lembut: “Apakah kamu khawatir kalau kita tidak melakukan ini sekarang?” dapat membuka percakapan emosional yang lebih dalam.
  1. Tetapkan batas tanpa merendahkan
    Batas sehat bukan tentang menang-kalah, melainkan saling menjaga integritas. Contoh: “Kalau urusan keuangan, aku minta kita putuskan bersama untuk hal di atas X rupiah.” Tetap gunakan nada tenang dan jelas, psikolog klinis lainnya menyarankan keberanian lembut untuk mengubah pola hubungan tanpa menyakiti pihak lain.
  1. Perkuat komunikasi non-verbal dan waktu bicara
    Pilih momen yang tepat: bicara saat suasana tenang, bukan di tengah kepenatan. Sentuhan, tatap mata, dan intonasi yang hangat sering lebih efektif daripada argumen panjang. Studi komunikasi konflik menunjukkan bahwa kerjasama langsung (direct cooperation) memperbaiki masalah lebih baik daripada pendekatan yang bersifat menyindir atau pasif.
  2. Kalau perlu, minta bantuan pihak ketiga profesional.
    Jika pola “superior vs pasif” sudah berulang dan menimbulkan luka, konseling pasangan kepada psikolog profesional bisa membantu merestorasi keseimbangan dan mengajarkan teknik berkomunikasi yang aman.

Penutup: Dari “Menang” ke “Berdua”

Menghadapi isteri yang superior, konteksnya bukan sekadar urusan menang-kalah, melainkan soal bagaimana dua orang yang saling mencintai menemukan ritme yang sama. Dengan empati, pernyataan perasaan yang jujur, batas yang sehat, dan kerja sama, superioritas tak lagi jadi jurang yang pemisah, melainkan fitur dalam hubungan yang bisa diselaraskan. Hubungan yang sehat bukanlah arena dominasi, melainkan ruang aman untuk tumbuh bersama. [*] Disarikan dari berbagai sumber

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |