Jejak Karbon dari Nusantara Menuju Dunia

1 week ago 19

(Beritadaerah-Kolom) Di sebuah pagi lembab di pedalaman Kalimantan, seorang petani berdiri di tepi lahannya yang kini dipenuhi deretan pohon muda. Hanya lima tahun lalu tanah itu gersang, terpanggang matahari, dan sering terbakar saat musim kemarau. Hari ini, pohon-pohon tumbuh rapat, menyerap udara yang tak terlihat, menyimpan karbon di batangnya. Petani itu mungkin tak tahu istilah “sertifikat karbon” atau “baseline emisi,” tapi ia mengerti bahwa apa yang dijaganya kini memiliki arti lebih dari sekadar pohon. Itu adalah bagian dari sebuah cerita besar—cerita tentang bagaimana Indonesia menghitung, menimbang, dan memperdagangkan nafas bumi.

Perdagangan karbon tidak lahir dari janji kosong, melainkan dari angka-angka yang bisa diuji. Di balik kesunyian hutan, ada kerja para ilmuwan, regulator, dan lembaga independen yang menyusun mekanisme agar setiap unit karbon yang lahir bisa dipercaya. Bab ini bukan tentang keajaiban semata, melainkan tentang cara manusia mencatat keajaiban itu dengan jujur. Bagaimana udara bersih di Nusantara bisa bertransformasi menjadi komoditas yang diakui hingga ke bursa dunia.

Segalanya dimulai dari sebuah pertanyaan mendasar: bagaimana kita tahu bahwa emisi benar-benar berkurang? Jawabannya terletak pada baseline, titik awal yang menjadi patokan. Bayangkan Anda sedang berlari di lapangan tanpa garis start—tak ada yang bisa memastikan apakah Anda maju, mundur, atau diam di tempat. Begitu pula dengan karbon. Baseline adalah skenario andai tidak ada intervensi, misalnya jika hutan dibiarkan ditebang atau jika listrik terus dihasilkan dari batu bara. Dari baseline inilah kemudian terlihat seberapa jauh intervensi berhasil menurunkan emisi.

Baseline bukan sekadar angka. Ia adalah cermin masa depan tanpa aksi. Dengan baseline, proyek reboisasi di Sumatera bisa menunjukkan betapa besar perbedaan antara hutan yang tumbuh kembali dengan lahan yang dibiarkan gundul. Dengan baseline, turbin angin di Sulawesi bisa membuktikan betapa banyak emisi yang dihemat dibandingkan jika listrik masih sepenuhnya bergantung pada diesel. Ia adalah awal dari perjalanan panjang menuju pengakuan global.

Namun, baseline saja tidak cukup. Kita butuh metodologi perhitungan yang jelas. Metodologi ini seperti resep masakan: tanpa aturan, setiap orang bisa mengklaim hasil yang berbeda. Indonesia mengembangkan metodologi sendiri, yang diselaraskan dengan standar internasional seperti ISO, serta pedoman yang diakui dalam skema sertifikasi global. Dengan metodologi, kita memastikan bahwa perhitungan pengurangan emisi di Papua menggunakan prinsip yang sama dengan perhitungan di Jawa.

Metodologi juga melindungi keadilan. Proyek besar yang dibiayai perusahaan multinasional dan proyek kecil yang dikelola komunitas lokal sama-sama harus mengikuti aturan yang sama. Tidak boleh ada klaim berlebihan, tidak boleh ada manipulasi. Semua angka harus transparan, bisa diverifikasi, dan konsisten. Hanya dengan cara itu kepercayaan bisa tumbuh, baik di dalam negeri maupun di pasar internasional.

Setelah metodologi diterapkan, muncullah proses Measurement, Reporting, and Verification (MRV). MRV adalah jantung perdagangan karbon. Di tahap measurement, tim lapangan menghitung langsung: berapa ton emisi yang berhasil dikurangi? Di tahap reporting, hasil pengukuran itu dituangkan ke dalam laporan resmi yang memuat data, metodologi, dan bukti pendukung. Lalu di tahap verification, lembaga independen yang disebut Lembaga Validasi dan Verifikasi (LVV) memeriksa ulang, memastikan semuanya sesuai standar.

Di Kalimantan, MRV bisa berarti mengukur diameter batang pohon satu per satu. Di Nusa Tenggara, MRV bisa berupa pencatatan produksi listrik dari panel surya. Di Jakarta, MRV bisa dilakukan dengan menghitung pengurangan emisi dari gedung-gedung yang beralih ke sistem pendingin hemat energi. Semua angka dikumpulkan, diperiksa, lalu diverifikasi. Tanpa MRV, tak ada sertifikat yang sah, tak ada kepercayaan pasar, dan tak ada perdagangan karbon.

Ketika semua tahap ini dilalui, barulah unit karbon lahir. Ia lahir dalam bentuk Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca atau SPE. SPE adalah bukti resmi bahwa sebuah aksi benar-benar berhasil menurunkan emisi. Namun, SPE bukan hanya kertas atau file digital. Ia adalah simbol kerja keras—dari petani yang menjaga hutan, insinyur yang merancang turbin angin, hingga regulator yang menyusun aturan.

SPE hanya diberikan pada proyek yang memenuhi syarat ketat: pengurangan emisi harus permanen, tidak boleh ada risiko karbon kembali dilepaskan; pengurangan emisi harus terukur, bukan sekadar perkiraan; dan pengurangan emisi harus adil, tidak boleh mengorbankan masyarakat lokal atau merusak ekosistem lain. SPE adalah semacam akta lahir unit karbon, dan seperti akta kelahiran manusia, ia memastikan identitas dan legitimasi.

Semua SPE yang lahir di Indonesia tercatat di Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim atau SRN. SRN adalah arsip digital negara, tempat semua unit karbon yang sah didaftarkan. Di dalamnya tercatat siapa pemilik unit, dari proyek mana ia berasal, kapan ia diterbitkan, dan bagaimana statusnya. SRN memastikan bahwa tidak ada unit karbon ganda, tidak ada kredit fiktif, dan tidak ada perdagangan gelap.

Bayangkan SRN seperti perpustakaan nasional yang menyimpan buku-buku tentang nafas bumi. Setiap unit karbon adalah sebuah buku dengan nomor unik. Siapa pun yang ingin membacanya bisa tahu dari mana asalnya, siapa penulisnya, dan kapan ia diterbitkan. Dengan SRN, kepercayaan pasar terjaga, baik bagi pembeli dalam negeri maupun pembeli dari luar negeri.

Namun, karbon tidak mengenal batas negara. Emisi yang dihasilkan di satu negara bisa memengaruhi seluruh dunia. Karena itu, Indonesia harus membangun jembatan ke pasar global. Di sinilah Mutual Recognition Agreement (MRA) berperan. MRA memungkinkan kredit karbon yang lahir di Indonesia diakui di negara lain, dan sebaliknya. Ia adalah paspor internasional bagi unit karbon.

Dengan MRA, kredit dari proyek hutan mangrove di Papua bisa digunakan oleh perusahaan di Jepang untuk mengimbangi emisinya. Kredit dari turbin angin di Sulawesi bisa dijual ke pasar Eropa. Sebaliknya, Indonesia juga bisa mengakui kredit karbon yang datang dari luar, selama mekanismenya transparan dan adil. MRA membuka jalan agar karbon dari Nusantara benar-benar sampai ke pasar dunia, memberi manfaat bagi ekonomi nasional sekaligus reputasi global.

Bagi banyak orang di desa-desa Nusantara, istilah seperti baseline, metodologi, atau MRA mungkin terdengar asing. Namun mereka merasakan dampaknya. Petani yang dulu bergantung pada menebang hutan kini bisa mendapat penghasilan dari menjaga pohon tetap hidup. Nelayan di Sulawesi melihat turbin angin bukan hanya sebagai sumber listrik, tapi juga sebagai peluang untuk menjual kredit karbon. Anak-anak sekolah di pedalaman Papua belajar bahwa menjaga mangrove bukan hanya melindungi pantai, tapi juga membantu dunia melawan perubahan iklim.

Perdagangan karbon adalah jembatan antara kesunyian alam dan hiruk pikuk pasar. Ia menghubungkan hutan Kalimantan dengan kantor perusahaan di Tokyo, panel surya Sumba dengan bursa di Eropa, dan turbin angin Sulawesi dengan regulasi iklim global. Semua ini terjadi karena ada sistem yang ketat, transparan, dan kredibel.

Dari tangan-tangan yang menanam pohon, dari komunitas yang menjaga hutan, dari insinyur yang membangun energi bersih. Indonesia bukan hanya penyumbang keindahan alam, tetapi juga pemain penting dalam perdagangan karbon global.

Jejak karbon dari Nusantara kini sedang berjalan menuju dunia. Perjalanannya sunyi, tanpa sorak-sorai, tapi dampaknya bisa dirasakan semua orang. Ia adalah bukti bahwa Indonesia bisa berdiri di panggung global bukan hanya sebagai penghasil emisi, tetapi juga sebagai penjaga udara bersih. Dan setiap unit karbon yang tercatat adalah sebuah janji—janji bahwa kita masih punya kesempatan menjaga bumi ini tetap layak dihuni.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |