Jiwa Manusia Berhadapan dengan Algoritma

2 hours ago 3

Home > Lifestyle Tuesday, 23 Sep 2025, 08:05 WIB

Satu hal yang pasti, algoritma tak memiliki jiwa. Sekilas, ini membuat manusia tampak lebih unggul dalam berkarya.

Dok. Mas Imam NawawiDok. Mas Imam Nawawi

BISNISTIME.COM, DEPOK -- Membaca laporan Tempo berjudul “Sastra di Hadapan Algoritma.” Poin penting yang disampaikan menarik: mesin pintar kini sudah mampu membuat puisi. Bahkan muncul istilah sastra hibrida, paradigma baru di mana karya sastra bukan lagi hasil ciptaan tunggal seorang sastrawan, melainkan perpaduan antara manusia dan kecerdasan buatan. Peran penulis pun berubah, bukan sekadar pencipta, melainkan kreator sekaligus dirigen dari data yang terus menumpuk dan meluber.

Perubahan ini melahirkan pertanyaan besar: akankah semua akhirnya tunduk pada algoritma? Padahal, sastra adalah ekspresi jiwa. Bisakah algoritma benar-benar menjadi jiwa?

Satu hal yang pasti, algoritma tak memiliki jiwa. Sekilas, ini membuat manusia tampak lebih unggul dalam berkarya. Namun, pertanyaan lain muncul: masih adakah manusia yang sungguh-sungguh hidup dengan kebijaksanaan jiwa?

Kenyataannya, fenomena menunjukkan sebaliknya. Orang kaya yang tak tahu asal kekayaannya, tetapi menghamburkannya. Rakyat kecil yang, jika diberi kesempatan, bisa saja bertindak bertentangan dengan nurani. Bahkan di dunia pendidikan tinggi, plagiarisme masih marak, sementara bangsa ini masih sibuk memperdebatkan ijazah asli atau palsu. Padahal jika ada jiwa, membedakan yang asli dan palsu seharusnya mudah.

Saat ‘Jutaan View’ Mengalahkan Hati Lihatlah YouTube. Orang cenderung menyukai kanal dengan jutaan views, meski kontennya sering kali tidak membangkitkan jiwa. Jarang sekali konten yang mampu menyambung semangat “Bangunlah jiwanya, bangunlah raganya, untuk Indonesia Raya.”

Fenomena ini menunjukkan bagaimana algoritma kerap mengendalikan cara orang berpikir, bahkan merasa. Jika tak hati-hati, kita bisa menjadi “budak” algoritma. Meski menawarkan peluang—kesempatan viral, keuntungan finansial, hingga mengubah nasib ekonomi—algoritma tetaplah alat, bukan tuan.

Hidup dengan Jiwa, Bukan Sekadar Data Masa depan kita bukan sekadar tentang angka dan data. Kita bisa bertahan dengan satu cara: hidup dengan kesadaran jiwa. Pilihlah tontonan dan bacaan yang memberi makan jiwa, bukan sekadar memuaskan algoritma.

Ketika sadar dan bertindak, kita tidak lagi menjadi budak algoritma, melainkan pengendali masa depan. Kita bisa tetap berkarya dengan makna, bukan hanya angka.

Pada akhirnya, algoritma tak berbeda jauh dengan ciptaan manusia lain: uang. Kita tahu betapa banyak orang yang menuhankan uang hingga melupakan Tuhan yang sebenarnya. Padahal, Tuhan telah berpesan: jika ingin bahagia, sucikanlah selalu jiwamu.

Mas Imam Nawawi

Image

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |