TEMPO.CO, Jakarta - Pengepungan di Bukit Duri (The Siege at Thorn High) karya Joko Anwar tak sekadar menyuguhkan tontonan aksi yang menghibur. Sutradara kawakan Tanah Air itu berharap filmnya bisa menjadi bahan diskusi mendalam tentang realitas dan masalah sosial di Indonesia.
Pilihan Editor: Wawancara Joko Anwar: Keresahan sebagai WNI di Balik Film Pengepungan di Bukit Duri
Film ini, menurut Joko Anwar, tidak lahir untuk menyenangkan hati atau sekadar menyuguhkan ketegangan sinematik. Ia justru menyisipkan ajakan agar masyarakat berani menengok dan membicarakan isu-isu sosial yang selama ini dihindari.“Sehingga apa yang coba kita sampaikan, memantik percakapan tadi bisa sampai ke banyak orang," ujar Joko, usai pemutaran film pada Kamis, 10 April 2025 di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
Kritik Sosial dalam Film Pengepungan di Bukit Duri
Pengepungan di Bukit Duri mengambil latar waktu 2027, sebuah masa depan yang menurut Joko bukan hanya fiksi belaka. Saat itu, Indonesia digambarkan berada di ujung tanduk, koyak oleh diskriminasi, kekerasan, intoleransi, hingga kebencian rasial.
Ia menyebutnya sebagai kemungkinan yang nyata jika Indonesia terus menghindar dari percakapan penting tersebut. “Kita sering menghindari hal-hal sulit; seperti trauma, kekerasan, ketimpangan sosial. Tapi luka itu tidak akan hilang hanya dengan dilupakan,” kata Joko. Narasi filmnya menyorot kenyataan pahit tentang bagaimana bangsa ini kerap hidup dalam penyangkalan. Banyak masalah dianggap selesai hanya karena tak dibahas.
Sutradara, Joko Anwar memberikan keterangan kepada media saat konferensi pers di Epicentrum XXI, Jakarta, 10 April 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Joko juga menyampaikan kritik sosial yang melekat dalam film ini. Ia menyoroti bagaimana masyarakat Indonesia kerap membangun citra tentang diri mereka yang bertolak belakang dengan kenyataan sehari-hari. “Kita menganggap diri kita religius, tapi korupsi merajalela. Kita merasa ramah, tapi tidak ramah terhadap perbedaan. Kita menciptakan citra tentang diri kita untuk menutupi realita. Ini yang perlu dibongkar, dan film ini mencoba menyentil itu,” ucapnya.
Sebagai karya ke-11, Pengepungan di Bukit Duri bukan sekadar pencapaian artistik bagi Joko Anwar. Ia menjadikannya semacam lonceng darurat, peringatan dini agar Indonesia tak jatuh ke jurang yang sama seperti di film. “Kita tampilkan sedemikian rupa supaya menampilkan kenyataan yang ada di dalam masyarakat,” tuturnya.
Tentang Pengepungan di Bukit Duri
Tayang 17 April 2025, kisah dalam film ini berpusat pada Edwin (Morgan Oey), seorang guru peranakan Tionghoa. Ia menjalankan janji terakhir kepada kakaknya yang telah meninggal—yaitu menemukan keponakannya yang hilang di tengah kekacauan negeri.
Petunjuk membawanya ke SMA Duri, sebuah sekolah khusus bagi remaja bermasalah. Lingkungan yang keras, penuh kemarahan dan kekerasan, menyambut Edwin sejak langkah pertama. Para murid di sekolah itu bukan hanya sulit dikendalikan, tapi juga brutal dan tak segan melukai siapa pun yang dianggap musuh. Niat awal mencari keponakan berubah menjadi perjuangan untuk bertahan hidup.
Ketika kerusuhan rasial pecah di luar sekolah, Edwin terjebak di dalam gedung sekolah yang seperti medan pertempuran. Ia tak hanya harus menyelamatkan diri, tapi juga menghadapi ketegangan yang terus meningkat di antara para siswa. Dibantu oleh Diana (Hana Malasan), Edwin berupaya menyelesaikan misi yang telah ia mulai.
Pilihan Editor: Omara Esteghlal: Pendidikan Indonesia Terhambat Feodalisme dan Kurang Diskusi Kritis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini